“Ada yang bilang, mau bunuh diri segala. Kan kasihan banget ya,” ujar TY. Profesi para korban juga tidak main-main.
Ada yang berprofesi sebagai auditor keuangan, manajer perusahaan swasta, guru di sekolah internasional, bankir, pengusaha, hingga dokter.
Maka tak heran bila pelaku bisa meraup untuk yang tidak sedikit dari para korbannya.
Baca juga: Saat Para Korban Tinder Swindler Indonesia Berjejaring Demi Hentikan Kejahatan Serupa
Ada yang puluhan juta, bahkan ada yang tertipu nyaris Rp 1 miliar. Menurut TY, latar belakang seperti itu yang memang diincar pelaku.
Pasalnya, pelaku sendiri mencitrakan diri sebagai sosok pria tampan, memiliki pekerjaan bonafid, kaya raya, memprioritaskan keluarga, tetapi kesepian.
“Di mata wanita-wanita seperti kami, image pelaku itu sempurna. Family man banget, suka sama anak kecil, mau bersih-bersih kayak menyapu mengepel, suka masak. Pokoknya perfect banget,” ujar TY.
“Itulah yang mungkin bikin para korban ini langsung klepek-klepek,” lanjut dia.
Berdasarkan keterangan para korban, pertemuan dengan pelaku seluruhnya melalui dating apps. Pelaku berupaya meraih kepercayaan dari korban terlebih dahulu dengan berbagai cara.
Setelah berhasil membangun kepercayaan, pelaku menyinggung bisnis jual beli daring yang disebutnya sebagai salah satu sumber kekayaannya selama ini, yakni berjualan barang secara daring di sebuah website.
Baca juga: Polisi Selidiki Kasus Tinder Swindler Indonesia, Penipuan Dating Apps yang Sasar Perempuan Mapan
Korban pertama-tama diminta membuat akun di website itu. Artinya, korban mendaftarkan diri menjadi merchant di sana.
Meski berstatus merchant, korban diminta membeli barang di dalam website itu. Semisal meja, kursi, lampu hias, dan sebagainya. Belanja dilakukan menggunakan aplikasi.
Sekilas, mekanisme kerjanya seperti dropshipper di mana pemilik toko tidak mesti berurusan dengan barang dan pengemasan.
Pemilik toko hanya membeli item di daftar yang disediakan, lalu menjualnya kembali. Pelaku menjanjikan keuntungan 10 persen setiap barang laku terjual.
Setelah korban top up di aplikasi tersebut dalam kurs dollar AS, muncul notifikasi pemesanan barang.
Artinya, dana yang sudah di-top up korban terpotong sesuai dengan nilai barang. Mekanisme itu terus menerus terjadi sehingga memaksa korban untuk terus melakukan top up.
Seolah-olah tokonya laris manis, padahal semua aktivitas perdagangan di website itu adalah bikinan pelaku. Korban tidak sempat mencicipi keuntungan.
Tanpa disadari, modal yang digelontorkan sudah banyak dan pada momen inilah biasanya para korban baru menyadari bahwa mereka telah tertipu.
(Catatan redaksi: Apabila Anda merupakan korban penipuan seperti artikel di atas dan ingin berbagi kisah, silakan hubungi tim Megapolitan di sejumlah akun media sosial Kompas.com, yakni Twitter, Instagram, TikTok, atau Telegram.)
(Penulis: Dzaky Nurcahyo | Editor: Jessi Carina, Nursita Sari)
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.