JAKARTA, KOMPAS.com - Jumlah pasien pengidap infeksi saluran pernapasan akut (ISPA) dan radang paru-paru (pneumonia) yang berobat di Rumah Sakit Umum Pusat (RSUP) Persahabatan, Jakarta Timur, naik 20-30 persen pada Juli 2023 jika dibandingkan dengan periode yang sama pada tahun lalu.
Informasi itu disampaikan Dokter Spesialis Paru Kelompok Staf Medis (KSM) RSUP Persahabatan Dr.dr. Feni Fitriani Taufik, SpP(K), Mpd.Ked.
Kendati begitu, ia tidak memerinci jumlah pasien ISPA dan pneumonia yang berobat di RSUP Persahabatan.
"Di poliklinik rawat jalan datanya itu memang ada peningkatan untuk kasus ISPA dan pneumonia sebesar 20-30 persen dibandingkan tahun lalu, Juli 2022, dibanding Juli 2023. Tapi itu data umum angka global. Untuk per kelompok itu belum dibagi," kata Feni saat ditemui Kompas.com di RSUP Persahabatan, Rabu (6/9/2023).
Baca juga: Perusahaan Swasta Diminta Pasang Water Mist Atasi Polusi Jakarta, Biaya Ditanggung Masing-masing
Feni memaparkan, penyebab meningkatnya kasus ISPA bukan polusi udara saja.
"Kalau ISPA kan penyebabnya banyak ya dan polusi jadi salah satu faktor penyebab ISPA. Bisa bakteri, virus, lingkungan, polusi, itu juga kondisi yang meningkatkan ISPA pada masyarakat," papar dia.
"Ada kaitan enggak sama polusi udara? Ya mungkin ada, mungkin enggak. Dengan kondisi polusi sekarang ya bisa jadi salah satu faktor, (tapi) bukan satu-satunya faktor," lanjut Feni.
Berbagai bentuk polutan yang ada saat ini, kata Feni, bisa membawa dampak buruk saat terhirup dan masuk ke saluran pernapasan.
"Bentuk polutannya kan macam-macam ya, ada gas, ada partikel. Gasnya itu ada yang bersifat iritasi di saluran napas, itu yang bikin batuk," terang dia.
Baca juga: Yayasan Ini Temui Heru Budi, Tawarkan Penanganan Polusi dengan Semprot Ekoenzim
Lalu, ada pula polutan yang bersifat afeksian atau bisa menimbulkan sesak napas, seperti karbon monoksida atau CO.
"Nah itu CO yang bisa mengganggu ikatan hemoglobin dan oksigen, sehingga orang kurang oksigen dan merasa sesak napas," ujar Feni.
Lalu, ada lagi partikel lain yang berukuran sangat kecil, yakni PM 10 dan PM 2.5.
"Partikel itu kan ada yang PM 10, PM 2.5, ultrafineultrafine (UFP). Nah PM 2.5 ini yang sangat-sangat halus, dia bisa masuk ke alveoli, ke dalam pembuluh darah," jelas Feni.
"Itu yang efeknya bisa mengakibatkan kerusakan paru, sampai ke sistem saraf pusat, risiko stroke meningkat, masuk ke sistem jantung dan pembuluh darah, hingga bisa jadi hipertensi dan penyakit kardiovaskular. Itu ulahnya si PM 2.5," tambah dia.
Feni berujar, ISPA pada tingkat yang parah bisa menyebabkan pneumonia atau infeksi berat lainnya yang membuat pasien harus dirawat inap.
Maka dari itu, saat polusi udara tidak bisa dikontrol, maka perlindungan dirilah yang bisa dimaksimalkan, termasuk dengan memakai masker saat beraktivitas di luar ruangan.
"Kita kan bisa kontrol perlindungan diri kita, kita bisa pakai masker dengan tujuan mengurangi partikel yang masuk ke saluran napas," kata Feni.
Baca juga: DPRD DKI Minta Dinas LH Konsisten Razia Uji Emisi dan Pabrik Penghasil Polusi
Kemudian, masyarakat juga bisa mengurangi aktivitas di luar ruangan agar tidak terpapar polusi dalam waktu yang lama.
"Misalnya tidak berlama-lama di outdoor pada saat polusi udara sedang tinggi-tingginya. Atau bisa membatasi agar tidak keluar pada saat mungkin polusi enggak buruk-buruk amat tapi kitanya yang kurang fit," ujar dia.
Hal-hal tersebut terlebih harus dilakukan oleh orang yang memiliki riwayat asma. Sebab, polusi dapat memicu asma kambuh.
"Lalu, daya tahan tubuh juga harus diperkuat. Istilahnya pola hidup bersih sehat, istirahat harus cukup, makan bergizi, stresnya dikendalikan, lalu bergerak olahraga 150 menit per minggu," tutur Feni.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.