Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Cerita Hasanudin Bawa Kehangatan lewat Sepiring Lontong Sayur

Kompas.com - 30/10/2023, 16:07 WIB
Xena Olivia,
Irfan Maullana

Tim Redaksi

JAKARTA, KOMPAS.com - Di sela-sela keramaian pendaftaran capres-cawapres di Komisi Pemilihan Umum (KPU) RI, Menteng, Jakarta Pusat, seorang pemuda bernama Hasanudin (20) ikut sibuk memerhatikan lalu-lalang orang di balik gerobak lontong sayurnya.

Siang itu, Rabu (25/10/2023), matahari begitu terik dan panasnya menyengat hingga ke kulit. Wajah Hasanudin tampak letih, sedangkan kantong matanya tercetak di wajah.

“Bang, satu berapa?” tanya seorang pembeli, menghampiri Hasanudin.

“Rp 13.000 satu porsi, pakai telor, pak,” jawab Hasanudin.

Nadanya ramah, bahkan antusias. Senyumannya tak kalah hangat dari kuah lontong sayur yang mengepul di panci gerobaknya.

Baca juga: Cerita Warga Terdampak Kebakaran TPA Rawa Kucing, Terpaksa Berdagang meski Rumah Diselimuti Asap

Setelah sang pembeli memesan dua porsi lontong sayur, dengan sigap pemuda bertubuh kurus itu bekerja. Tangannya dengan cekatan memotong-motong lontong dan telur. Lalu, menyiramnya dengan kuah santan berwarna kuning yang khas.

Usai Hasanudin menghidangkan pesanan, saya lantas menghampiri pria yang katanya lebih akrab dipanggil Can.

Awalnya, Hasanudin bercerita tentang harga bahan baku yang melonjak di pasar. Dari yang semula Rp 14.000-15.000, kini melambung hingga Rp 18.000.

Selain itu, bosnya juga meningkatkan setoran harian, dari Rp 13.000 menjadi Rp 15.000.

Namun, Can mengaku tidak akan menaikkan harga jualannya.

Baca juga: Cerita Johan Sopir Bajaj Jago Bahasa Inggris, Belajar Otodidak dan Modal Nekat

“Yah, samain saja lah seporsi Rp 13.000 pakai telor. Kalau aku sih nyarinya langganan, bukan nyari uang. Yang penting banyak langganan,” kata Can sambil menyeringai lebar.

Harga khusus untuk sesama pedagang

Bagi sesama pedagang yang mau makan lontong sayur, Can menyiapkan harga khusus, cukup Rp 10.000 saja untuk seporsi lontong sayur yang lengkap dengan telur.

Ketika ditanya apakah dia rugi, Can menggeleng.

“Enggak masalah. Kata yang lain, ‘Emang enggak rugi?’. Ya kalau rugi biar aku yang nanggung. Yang penting kamu (teman pedagang) kenyang,” jawab pemuda asal Majalengka, Jawa Barat itu sambil terkekeh.

Meski hanya lulusan SMP, Can memiliki tutur kata dan cara pemikiran yang lebih dewasa dari teman sebayanya. Dia mengaku mendapatkan cara berpikir seperti itu dari sang nenek yang mengurusnya sejak kecil.

“Ibu sudah enggak ada dari aku kecil. Ayah nikah lagi enggak tahu ke mana, (tinggal) sama nenek doang. Waktu kecil itu ngamen, ngerasain gimana uang pas-pasan (tapi) laper,” tutur Can.

Baca juga: Kisah Ivan Rivani, Penyandang Disabilitas yang Buka Les Gitar Keliling di Pulogadung

“Makanya sekarang ada orang mau makan, enggak punya atau apa, ya saya kasih karena pernah merasakan sendiri. Nyari-nyari di tempat sampah bekas orang makan, saya pernah,” lanjut dia.

Pemuda kelahiran 27 April 2003 itu menghabiskan hidupnya mencari rezeki di jalanan sejak kelas 5 SD sampai 1 SMP. Selepas pulang sekolah, dia selalu mengisi waktu luangnya untuk bekerja mencari uang jajan.

Sewaktu duduk di bangku SMA, Can merasa tidak mengikuti jam pulang sekolah yang terlalu sore. Sebab, hal itu membuatnya tak bisa bekerja.

“SMP kan pulang jam 12.00, jam 13.00 bisa kerja. SMA kan pulangnya ja, 16.00, jadi mau kerja susah. SMA masuk seminggu, langsung keluar,” ucap dia.

Kerja serabutan cari pemasukan

Selain mengamen, Can memulai ‘karier’-nya menjadi bawahan bos-bos. Mulai dari kuli bangunan, dagang cilok di Joglo, Jakarta Barat, dan masih banyak lagi.

“Pokoknya ambil pengalaman orang. Ambil ilmunya dulu. Kayak ini (dagang lontong sayur), sampai akhirnya mikir, ‘Oh gini-gini doang juga, aku bisa lah', gitu,” kata Can.

Berdagang lontong sayur sudah ditekuninya sejak 2020, meski jalannya tak selalu mulus. Apalagi saat pandemi Covid-19 mengempaskan peluangnya.

“Habis-habisan semenjak corona. Jual tiga motor buat modal, sedangkan modal enggak balik dan uang enggak ada. Jualan sepi,” celetuk dia.

Baca juga: Nasib Ojol Turunkan Penumpang Ogah Pakai Helm, Kena Suspend hingga Bingung Cari Nafkah

“Emang bisa kami keliling, tapi jalannya di-lockdown semua. Kadang cuma laku tiga porsi, sedangkan ini sayur kan kalau sehari enggak habis ya dibuang. Kan santan, nanti asam. Makanya pengin nangis mah pengin, pas corona nganggur,” sambung Can.

Melihat teman-temannya yang gulung tikar akibat tak kuat memikul rugi, Can memutuskan untuk tetap bertahan. Sebab, perjuangannya masih layak untuk dijalani.

“Aku pikir-pikir lagi kalau gulung tikar. Dulu merintis kan pegal, tahu betul bagaimana jerih payahnya. Syukuri sajalah dapat berapapun juga,” lanjut dia.

Kini, kehidupannya sehari-hari lambat laun membaik. Dalam sehari, Can bisa meraup untung sekitar Rp 150.000 sampai Rp 250.000. Namun, jika dihitung benar-benar untuk dirinya sendiri, dia hanya mendapatkan sekitar Rp 20.000.

“Sisanya habis untuk setoran sama modal. Kalau aku milih lebihannya sedikit, yang penting bisa simpan (tabung) sedikit-sedikit,” tutur Can.

Masih punya satu mimpi

Ketika saya bertanya apakah dia masih punya mimpi, Can menggeleng pelan. Senyumnya berubah sedikit pahit.

“Enggak ada, sudah musnah semua karena dulu pengin bisa bahagiain ibu,” tutur dia pelan.

Namun, tiba-tiba Can kembali membuka suara.

“Sekarang kalau bisa ya satu, pengin bahagiain nenek dengan cara bawa umroh. Umurnya sudah 70, pengin bisa bawa, mumpung masih ada,” kata Can.

Baca juga: Peluncuran Buku Mimpi Tentang Indonesia, Harapan 22 Tokoh Akan Masa Depan Indonesia

“Aku mah gini-gini aja juga udah alhamdulillah. Nenek yang nyelametin aku sejak ibu enggak ada,” lanjut dia.

Puas mengobrol panjang, saya memesan seporsi lontong sayur buatan Can. Seperti biasa, dia langsung cekatan menyiapkan pesanan.

Can bahkan berseloroh sembari menyerahkan piringnya.

“Ini, kak. Maaf ya kalau enggak enak, maklum masakan cowok,” kata Can.

Saya menggeleng dan tertawa. Satu, dua suapan rasanya lumayan enak, buat saya yang biasanya tidak begitu menyukai lontong sayur.

Can berujar, biasanya dia jualan di daerah Palmerah, Jakarta Barat. Kalau tidak di kawasan Stasiun Palmerah, di area dekat Menara Kompas.

“Nanti cari saja, Can yang namanya lontong sayur. Kalau cari Hasanudin, enggak akan ketemu!” celetuk dia sambil tertawa.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Sosok Dimas Aditya Korban Kecelakaan Bus Ciater Dikenal Tak Mudah Marah

Sosok Dimas Aditya Korban Kecelakaan Bus Ciater Dikenal Tak Mudah Marah

Megapolitan
Dua Truk TNI Disebut Menerobos CFD Jakarta, Ini Klarifikasi Kapendam Jaya

Dua Truk TNI Disebut Menerobos CFD Jakarta, Ini Klarifikasi Kapendam Jaya

Megapolitan
Diiringi Isak Tangis, 6 Korban Kecelakaan Bus Ciater Dimakamkan di TPU Parung Bingung

Diiringi Isak Tangis, 6 Korban Kecelakaan Bus Ciater Dimakamkan di TPU Parung Bingung

Megapolitan
Titik Terang Kasus Mayat Terbungkus Sarung di Pamulang: Terduga Pelaku Ditangkap, Identitas Korban Diketahui

Titik Terang Kasus Mayat Terbungkus Sarung di Pamulang: Terduga Pelaku Ditangkap, Identitas Korban Diketahui

Megapolitan
3 Pelajar SMK Lingga Kencana Korban Kecelakaan Bus Dishalatkan di Musala Al Kautsar Depok

3 Pelajar SMK Lingga Kencana Korban Kecelakaan Bus Dishalatkan di Musala Al Kautsar Depok

Megapolitan
Isak Tangis Iringi Kedatangan 3 Jenazah Korban Kecelakaan Bus Ciater: Enggak Nyangka, Pulang-pulang Meninggal...

Isak Tangis Iringi Kedatangan 3 Jenazah Korban Kecelakaan Bus Ciater: Enggak Nyangka, Pulang-pulang Meninggal...

Megapolitan
Terduga Pembunuh Pria Dalam Sarung di Pamulang Ditangkap

Terduga Pembunuh Pria Dalam Sarung di Pamulang Ditangkap

Megapolitan
Pemprov DKI Lepas Ratusan Jemaah Haji Kloter Pertama Asal Jakarta

Pemprov DKI Lepas Ratusan Jemaah Haji Kloter Pertama Asal Jakarta

Megapolitan
Pesan Terakhir Guru SMK Lingga Kencana Korban Kecelakaan Bus di Ciater Subang

Pesan Terakhir Guru SMK Lingga Kencana Korban Kecelakaan Bus di Ciater Subang

Megapolitan
Gratis Untuk Anak Pejuang Kanker, Begini Syarat Menginap di 'Rumah Anyo'

Gratis Untuk Anak Pejuang Kanker, Begini Syarat Menginap di 'Rumah Anyo'

Megapolitan
Gelar 'Napak Reformasi', Komnas Perempuan Ajak Masyarakat Mengingat Tragedi 12 Mei 1998

Gelar "Napak Reformasi", Komnas Perempuan Ajak Masyarakat Mengingat Tragedi 12 Mei 1998

Megapolitan
Jatuh Bangun Pinta Mendirikan 'Rumah Anyo' Demi Selamatkan Para Anak Pejuang Kanker

Jatuh Bangun Pinta Mendirikan 'Rumah Anyo' Demi Selamatkan Para Anak Pejuang Kanker

Megapolitan
Saat Epy Kusnandar Ditangkap karena Narkoba, Diam Seribu Bahasa

Saat Epy Kusnandar Ditangkap karena Narkoba, Diam Seribu Bahasa

Megapolitan
Misteri Mayat Pria Terbungkus Sarung di Pamulang, Diduga Dibunuh Lalu Dibuang

Misteri Mayat Pria Terbungkus Sarung di Pamulang, Diduga Dibunuh Lalu Dibuang

Megapolitan
Pelajar SMK Lingga yang Selamat dari Kecelakaan Tiba di Depok, Disambut Tangis Orangtua

Pelajar SMK Lingga yang Selamat dari Kecelakaan Tiba di Depok, Disambut Tangis Orangtua

Megapolitan
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com