JAKARTA, KOMPAS.com – Sebelum Masjid Jakarta Islamic Centre (JIC) di Koja, Jakarta Utara berdiri, lokasi tersebut merupakan kawasan prostitusi terbesar di Asia Tenggara.
Pada 1970, Gubernur DKI Jakarta saat itu, Ali Sadikin, memilih kawasan Kramat Tunggak yang kini menjadi Masjid JIC menjadi lokasi penampungan wanita tunasusila.
Kawasan itu kemudian berkembang menjadi lokalisasi prostitusi.
“Karena dulu dipilih oleh Ali Sadikin sebagai tempat menampung wanita-wanita tunasusila (WTS) yang pernah terjerat asusila di Jakarta, kemudian ditangkap, dan dikumpulkan sehingga mereka yang selama ini dianggap menganggu ketentraman, ketertiban di jalanan Ibu Kota, maka ditaruh di Kramat Tunggak,” ujar Kepala Sub Divisi Informasi dan Komunikasi (Humas) Pusat Pengkajian dan Pengembangan Islam Jakarta atau Masjid JIC Paimun Abdul Karim ketika diwawancarai Kompas.com, Rabu (12/3/2024).
Baca juga: Masjid JIC Belum Direnovasi Sejak Kebakaran, Pengurus: Harus Dibangun Ulang
Kramat Tunggak dipilih sebagai lokalisasi prostitusi karena dianggap jauh dari permukiman warga dan aksesnya sulit dijangkau pada saat itu.
Pada 1970, ada sekitar 380 wanita yang dikumpulkan di area ini dengan 80-an orang mucikari.
Namun, setelah dilokalisasi, prostitusi di Jakarta justru meningkat. Pada 1998, hampir 2. 000 orang pekerja seks komersial yang memangkal di Kramat Tunggak.
Karena jumlahnya yang semakin banyak, pada 1998, muncul wacana lokalisasi Kramat Tunggak ditutup.
Menjelang penutupan, jumlah PSK di lokasi tersebut masih seribuan orang.
“Menjelang penutupan tahun 1998 ada 1. 600-an orang PSK yang ada di Kawasan Keramat Tunggak, dengan jumlah mucikari hampir 300-an orang,” kata Paimun.
Baca juga: Momen Warga Selamatkan Al Quran Raksasa dari Amukan Api di Jakarta Islamic Centre...
Kemudian, pada 1999, Sutiyoso yang saat itu menjabat sebagai Gubernur DKI Jakarta, bertekad menutup lokalisasi Kramat Tunggak ini.
Keberanian Sutiyoso mendapat dukungan dari para alim ulama dan tokoh masyarakat Jakarta.
Banyak pula tokoh Islam yang saat itu duduk di bangku DPRD DKI ikut mendukung.
Setelah ditutup pada tahun 1999, tanah di Kramat Tunggak dibeli dari warga dan kemudian dibebaskan oleh Pemda.
Pada 2000, Sutiyoso memiliki ide untuk mengubah bekas kawasan prostitusi tersebut menjadi masjid.
“Pendirinya secara ide Pak Sutiyoso menutup dan menjadikan JIC. Tapi, didukung oleh tokoh masyarakat dari MUI, dewan masjid, dan tokoh ormas,” jelas Paimun.
Baca juga: Masjid Al-Azhar Sediakan 700 Boks Takjil Gratis Selama Ramadhan
Karena mendapat banyak dukungan, tekad Sutiyoso membangun masjid di kawasan tersebut semakin bulat.
Sampai akhirnya, pada Oktober 2001, bangunan Masjid JIC mulai dirancang.
Sambil menunggu proses pembangunan masjid, pada 2002 sempat dilakukan studi banding empat negara untuk menentukan pengurusan dan manajemen organisasi yang tepat untuk Masjid JIC.
“Tahun 2002 dilakukan studi banding ke empat negara, seperti Prancis, Inggris, Mesir, dan Iran terkait untuk pengurusan, pengaturan manajemen organisasinya. Jadi, belajar dulu ke luar,” kata Paimun.
Setelah itu, pada 4 Maret 2003, Masjid JIC diresmikan oleh Sutiyoso.
Namun, untuk kepengurusannya baru ada sejak 5 Desember 2003.
Baca juga: Masjid Istiqlal Buka Pendaftaran Iktikaf Ramadhan, Jemaah Diseleksi dan Tak Pulang Selama 10 Hari
Sampai saat ini, Masjid JIC masih menjadi favorit warga Jakarta untuk berwisata religi.
Selain bisa beribadah sekaligus belajar sejarah, di depan Masjid JIC terdapat banyak pedagang.
Jadi, pengunjung yang datang ke masjid ini bisa sekaligus berwisata kuliner.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.