“(Kalau dulu, perantau enggak punya teman di Ibu Kota), susah. Hidup di Jakarta ini susah dulu. Digebukin kita masuk ke Terminal kalau enggak ada yang kita kenal,” kata Hasan.
“Iya (di Pasar Minggu). Kalau enggak ada yang kita kenal nih ya, kita masuk asal masuk saja, enggak bisa. Ibaratnya, hukum rimba berlaku. Siapa yang kuat, dia yang di atas,” lanjutnya.
Selama satu bulan menjadi calo penumpang angkot di terminal-terminal, Hasan akhirnya tiba di Terminal Pasar Minggu.
“Pokoknya, selama satu bulan itu, saya terdampar di mana-mana, celana putih sudah jadi hitam, karena tidur di mana saja,” kata Hasan.
Usai satu bulan berada di Pasar Minggu, Hasan juga bertemu dengan salah satu kerabat satu kampung halaman.
Dari pertemuan tersebut, Hasan baru mengetahui bahwa temannya seorang sopir angkot. Perbincangan sesama perantau pun terjadi.
“Baru saya ikut, belajar, narik. Tapi, saya jadi kenek dulu. Sebenarnya itu enggak pakai kenek, tapi saya disuruh kenek dulu sewaktu angkot masih jaya-jayanya,” tutur eks narapidana kasus pencurian tersebut.
“Setoran masih murah, Rp 70.000 satu hari. Pendapatan Rp 20.000 sudah bagus, Rp 50.000 lebih bagus lagi. Nah, waktu zaman soeharto, uang Rp 50.000 buat makan satu minggu belum juga habis. Ya makan dulu berapa? Dulu cuma Rp 1.500,” ungkapnya lagi.
Sekira sampai tahun 1994, ia baru diperbolehkan menjadi sopir angkot M16 jurusan Pasar Minggu - Kampung Melayu, sampai detik ini.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.