JAKARTA, KOMPAS.com - Tiktoker Galih Noval Aji Prakoso ditangkap polisi karena konten yang ia buat di akun TikTok miliknya @galihloss3 menyebarkan isu SARA dengan memelesetkan kalimat taawuz.
Direktur Reserse Kriminal Khusus Polda Metro Jaya Kombes Ade Safri Simanjuntak menjelaskan, penangkapan Galih bermula saat polisi melakukan patroli siber di media sosial, Senin (22/4/2024).
"Mendapati adanya akun TikTok dengan username @galihloss3 yang mengunggah video bermuatan SARA berisikan penyebaran kebencian berbasis SARA melalui media elektronik dan penodaan terhadap suatu agama yang dianut di Indonesia," kata Ade saat dikonfirmasi, Selasa (23/4/2024).
Baca juga: Polisi Tangkap Tiktoker Galihloss Buntut Konten Diduga Nistakan Agama
Dalam video yang disebut bermuatan SARA itu, Galih tampak memberikan pertanyaan kepada seorang anak laki-laki soal plesetan nama hewan yang pintar mengaji.
"Hewan, hewan apa yang bisa ngaji?" tanya Galih.
Lantaran anak itu tak bisa menjawab dengan benar, Galih pun memberitahukan jawaban dari pertanyaannya. Dia lalu menyebutkan jawaban dengan bacaan kalimat taawuz.
Polisi lantas menyelidiki dugaan penistaan agama yang dilakukan selebritas TikTok tersebut. Setelah melakukan gelar perkara, polisi menetapkan Galih sebagai tersangka.
"Senin tanggal 22 April 2024 pukul 23.00 WIB Tim Unit 2 Subdit IV Tipid Siber Ditreskrimsus Polda Metro Jaya melakukan upaya paksa penangkapan terhadap Galih Noval Aji Prakoso," ujar Ade.
Dengan ditangkapnya Galih, ini menambah daftar content creator yang terkena masalah hukum atas konten yang mereka buat.
Kejadian yang menimpa Galih harus menjadi pembelajaran bagi siapa pun untuk lebih hati-hati dalam membuat konten agar tidak berurusan dengan kasus hukum.
Pengamat sosial sekaligus pendiri Klinik Digital Vokasi UI, Devie Rahmawati mengatakan bahwa setiap orang perlu mengetahui tentang kehidupan di ruang digital atau media sosial.
Baca juga: Terjerat Kasus Penistaan Agama, Tiktoker Galihloss Terancam 6 Tahun Penjara
Ia mengimbau agar siapa pun, termasuk content creator perlu memberi batasan di ruang maya sama seperti di kehidupan nyata.
"Sebenarnya kalau Anda tetap ingin hidup aman dan nyaman di ruang maya, maka segala aturan etika dan moral di ruang nyata itu juga berlaku di ruang maya," kata Devie kepada Kompas.com, Kamis (25/4/2024).
Dalam ruang maya, kata Devie, seseorang tidak bisa hanya fokus pada kemampuan atau kecakapan digitalnya, seperti pandai mengambil foto, mampu dalam editing maupun menggunakan sekian aplikasi dan sebagainya.
"Orang hanya berfokus pada hal itu (kemampuan atau kecakapan digital). Padahal negara sudah memberikan panduan. Kalau Anda mau hidup aman dan nyaman, Anda perlu mengikuti istilah yang namanya CABE," jelas Devie.