Kecemasan pejabat terlihat dari minimnya serapan anggaran. Kuasa pengguna anggaran khawatir terjadi kesalahan sehingga tidak mau ambil risiko berurusan kasus hukum. Di Dinas Koperasi Usaha Mikro, Kecil, Menengah, dan Perdagangan, para suku dinas tidak mau mengajukan program yang dibutuhkan masyarakat.
Di tingkat kota, hampir dua tahun Joko Widodo-Basuki Tjahaja Purnama memimpin Jakarta terus terjadi penggantian pejabat. Agustus lalu, sejumlah muka baru mengisi posisi kepala dinas di Jakarta Selatan, termasuk Kepala Suku Dinas Pekerjaan Umum Tata Air yang diduduki Meti Ambarwati yang lalu meminta mundur dari jabatannya.
Kepala Suku Dinas Komunikasi, Informasi, dan Kehumasan Jakarta Selatan Yuswil Iswantara terkejut dengan berita terkait Meti. ”Beliau baru pindah ke sini. Bu Meti masih ikut rapat koordinasi wilayah dan rapat dengan Pak Wakil Wali Kota, termasuk membahas kelanjutan normalisasi Kali Mampang,” kata Yuswil.
Yuswil menambahkan, secara struktural organisasi, jika memang yang bersangkutan akan meletakkan jabatannya, seharusnya lapor kepada wali kota terlebih dahulu.
Wali Kota Jakarta Selatan Syamsudin Noor belum berkenan memberikan tanggapan atas hal ini. Ia tidak membalas pesan singkat ataupun telepon terkait Meti.
Yuswil menilai, pergeseran pegawai akan mengganggu sistem manajerial. Apalagi kalau pejabat dipindah di dinas yang berbeda dari tempat tugas sebelumnya dan di tengah-tengah tahun anggaran berlangsung. Hal ini terkait dengan posisi kepala dinas/suku dinas sebagai pemegang kuasa anggaran.
Perlu persiapan
Menurut Yuswil, penggantian yang terlalu cepat bakal berpengaruh pada pelaksanaan program kerja dan pertanggungjawaban anggaran. ”Bagaimanapun segala sesuatu butuh proses,” katanya.
Hal ini pula yang dikhawatirkan Sekretaris Dinas Koperasi UMKM dan Perdagangan Irwandi. Pergantian posisi struktural harus mempertimbangkan latar belakang pejabat. Jika tidak, bisa berakibat fatal terkait kualitas kerja.
Sementara saat ini sebagian pejabat paling menghindari posisi kuasa pengguna anggaran. Hal itu, menurut Irwandi, wajar. Pasalnya, banyak kasus korupsi terjadi karena kesalahan penggunaan anggaran. ”Kami perlu dilatih lebih dahulu sebelum ada perubahan penggunaan anggaran, jika tidak, seperti yang terjadi saat ini. Banyak yang tidak berani menggunakan anggaran.
Sejauh ini, serapan anggaran semua satuan dan unit kerja perangkat daerah baru sekitar 25 persen dari total APBD yang mencapai Rp 72,9 triliun.
Pengamat perkotaan dari Universitas Trisakti, Yayat Supriyatna, menilai revolusi mental wajib ada dan harus terus dilakukan. ”Wakil Gubernur DKI Jakarta Basuki sudah dan sedang melakukan revolusi mental itu. Masalah utama adalah kultur pegawai belum berubah,” kata peraih doktor bidang sosiologi di Universitas Indonesia.
Peneliti kebijakan publik Institut Pertanian Bogor, Deddy S Bratakusumah, mengingatkan, semangat perombakan birokrasi harus dilakukan untuk meningkatkan layanan publik. Perombakan juga perlu kajian terlebih dahulu agar tidak ada gejolak di internal birokrasi.
Hal penting lainnya, menyiapkan sistem menuju perubahan itu. Tujuannya, ketika perubahan diterapkan, pegawai tidak gagap. Persoalannya, apakah Pemprov DKI sudah melakukan itu? (NEL/NDY)
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.