Kepala Bidang Sumber Daya Kebudayaan Dinas Pariwisata dan Kebudayaan (Disparbud) DKI Jakarta Asiantoro mengatakan, pihaknya kini sedang menelusuri berkas rekomendasi yang disampaikan Disparbud DKI Jakarta kepada gubernur. Saat ini, berkas tersebut tersimpan di Badan Perpustakaan dan Arsip Daerah DKI Jakarta.
”Survei dan pendekatan dengan tokoh seniman yang diberi mandat mengelola Balai Budaya sudah dilakukan Disparbud DKI Jakarta dua tahun lalu. Hasil rekomendasinya disampaikan kepada gubernur untuk diproses oleh tim ahli penetapan cagar budaya,” ujar Asiantoro, Rabu (21/1), di Jakarta.
Meski langkah pengusulan sudah dilakukan, hingga sekarang, proses itu tersendat tanpa ada kejelasan. Belum ada keputusan apa pun dari Gubernur DKI Jakarta yang menegaskan bahwa Balai Budaya ditetapkan sebagai bangunan cagar budaya.
Milik negara
Menurut Asiantoro, status kepemilikan Balai Budaya saat ini adalah milik negara, khususnya Kementerian Dalam Negeri. Hal senada disampaikan Ketua Pengelola Balai Budaya Cak Kandar. Ia mengatakan, setelah Balai Budaya didirikan pemerintah pada 1954, Presiden Soekarno langsung menyerahkan pengelolaannya kepada Badan Musyawarah Kebudayaan Nasional.
Dirunut dari sejarahnya, Balai Budaya sangat layak ditetapkan sebagai bangunan cagar budaya. Di tempat ini, sejumlah perupa Indonesia ternama, seperti Affandi dan Soedjojono, serta penyair WS Rendra mengawali karier. Di gedung ini pula, tokoh-tokoh besar berkumpul dan berdiskusi, mulai dari Mochtar Lubis, Asrul Sani, Umar Kayam, HB Jassin, hingga Taufiq Ismail.
Panggung andalan
Sebelum Taman Ismail Marzuki berdiri dan pusat-pusat kebudayaan bermunculan, Balai Budaya benar-benar menjadi medan pertemuan dan panggung ekspresi seniman dan budayawan. Mereka yang berasal dari daerah juga datang berpameran di gedung ini.
Bahkan, karena ruangannya terbatas, dulu pelukis Affandi harus menyekat ruangan menjadi dua. Satu untuk pameran dan satu untuk tempat tidur. Hal ini menggambarkan betapa Balai Budaya pada waktu itu benar-benar menjadi panggung andalan perupa untuk menampilkan karya mereka.
”Kalau tidak ada status, siapa pun tidak akan bersedia terlibat 100 persen di sana. Bahkan, pemodal juga akan segan dan berpikir ulang bekerja sama dengan seniman mengelola Balai Budaya karena statusnya tidak jelas,” ujar Tommy F Awuy, salah satu anggota Tim Lima yang memperbarui pengelolaan Balai Budaya pasca reformasi 1998.
Setelah status Balai Budaya ditetapkan, Tommy mengusulkan agar pemerintah bersama seniman dan budayawan duduk bersama membahas arah pengelolaan Balai Budaya ke depan. Tentu saja, sesuai peruntukannya, gedung bersejarah ini harus tetap difungsikan sebagai tempat kegiatan seni budaya.
Saat ini, kondisi Balai Budaya semakin memprihatinkan. Menginjak usia yang ke-61 tahun, tempat kelahiran seniman dan budayawan besar ini rusak parah. Jika tak segera ada perhatian dari pemerintah dan para pemangku kepentingan, sejarah panjang Balai Budaya akan lapuk dimakan zaman. (Aloysius Budi Kurniawan)
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.