Mereka mengenakan kemeja lengan panjang dengan perpaduan warna hijau terang dan hitam. Paduan warna yang tidak jauh berbeda dengan rompi yang biasa dikenakan polisi lalu lintas. Mereka juga membawa tongkat yang membantu untuk mengatur arus.
"Mereka disebut Pandu Jalan," ujar Rusdi Hanto Darmawan, inisiator Pandu Jalan, di Cideng, Jakarta Pusat, Senin (23/2/2015).
Pandu Jalan merupakan masyarakat sipil profesional yang dipekerjakan untuk membantu mengatur lalu lintas. Terutama pada jam-jam sibuk. Mereka harus berusia di atas 17 tahun dan di bawah 25 tahun.
Rusdi mengatakan, mereka bekerja mulai pukul 6.00 WIB hingga 9.00 WIB. Setelah itu mereka akan beristirahat. Kemudian melanjutkan pekerjaannya pada pukul 15.00 WIB hingga 22.00 WIB.
Saat ini, mereka sering membantu kelancaran arus lalu lintas di traffic light RS Tarakan. Rusdi mengatakan para Pandu Jalan ini telah memenuhi kriteria yang dia buat.
Mereka juga telah menjalani pelatihan terlebih dahulu oleh polisi dan juga Dinas Perhubungan DKI Jakarta. Latihan mereka dari mempelajari rambu lalu lintas hingga latihan fisik seperti berlari mengelilingi Lapangan Banteng.
Mereka pun mendapat gaji dengan standar UMP ditambah dengan uang transport dan juga uang makan.
Ide 20 tahun
Rusdi mengatakan, ide untuk membuat Pandu Jalan ini telah ada sejak 20 tahun lalu. Awalnya berasal dari keluhan yang sering ia lontarkan saja ketika macet.
Suatu ketika, dia memberanikan diri menawarkan ide tersebut kepada para petinggi Ibu Kota. Seperti Gubernur, Kapolda, hingga Pangdam Jaya.
Akan tetapi, ide yang dilontarkan Rusdi "mental" begitu saja. Dia pun mengubur ide tersebut. Kemudian, pada masa pemerintahan Joko Widodo sebagai Gubernur DKI Jakarta, Rusdi mencoba kembali menawarkan idenya.
Dia menulis surat kepada Jokowi dan juga Basuki Tjahaja Purnama yang ketika itu masih Wakil Gubernur.
Awalnya, dia menduga suratnya tidak direspons. "Tetapi ternyata direspons, surat itu diteruskan ke Dishub DKI," ujar Rusdi.
Akan tetapi idenya sempat terhambat kembali ketika Kepala Dishub DKI ketika itu, Udar Pristono, terlibat masalah hukum. Dia pun akhirnya meneruskan usul ke Wali Kota Jakarta Pusat yang masih dijabat oleh Saefullah.