Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Menghidupkan Kembali Denyut Nadi Stasiun yang Dulu Memiliki Ruang Dansa

Kompas.com - 24/11/2015, 05:52 WIB
Kahfi Dirga Cahya

Penulis

JAKARTA, KOMPAS.com - Suasana ramai pekerja langsung tersuguh saat memasuki halaman depan stasiun. Beberapa pekerja lengkap dengan seragamnya sibuk hilir mudik membawa peralatan untuk merenovasi stasiun.

Sebagian lagi lebih dulu bekerja di bagiannya masing-masing untuk mempersolek Stasiun Tanjung Priok. Pada bagian lobi utama, para pekerja melakukan perbaikan beberapa bangunan.

Di dekat lobi tampak berserakan besi dan kayu yang dikelilingi garis hitam kuning. Berjalan ke halaman dekat peron, pagar besi setinggi empat meter lebih masih kokoh berdiri.

Di depan pagar, dua pekerja memilah keramik yang sudah dianggap tak layak dipakai dengan cara diketuk.

Perbaikan stasiun berusia 100 tahun lebih tersebut dikebut untuk menghidupkan kembali tempat yang lama mati suri.

Dibangun pada tahun 1914 saaat masa Gubernur Jenderal AFW Idenburg dan diarsiteki Ir. C.W Koch, seorang insinyur utama dari Staats Spoorwegen (SS-Perusahan kereta api hindia belanda), gaya stasiun tak lepas dari sentuhan Eropa.

Ragam fasilitas pun dibangun, mulai dari hotel, kafe bar hingga ruang dansa di bagian bangunan lain stasiun. Ruang tersebut biasanya hanya disesaki oleh warga negara Belanda semata.

Terletak berdekatan dengan Pelabuhan Tanjung Priok dan Terminal Tanjung Priok menjadikan stasiun yang pada masa kejayaannya bagian dari denyut nadi perekonomian di Jakarta Utara.

Pada tahun 1925, stasiun dibuka untuk masyarakat umum dengan menyediakan rute kereta rel listrik (KRL) Tanjung Priok - Meester Cornelis (Jatinegara).

Terdapat tiga peron dengan enam lajur rel, stasiun tak sepi saat masa kejayaannya. Baik kereta barang atau pun penumpang hilir mudik di stasiun dengan atap menjulang tinggi tersebut. Namun, perubahan zaman ternyata juga berdampak pada Stasiun Tanjung Priok.

Ramainya penggunaan transportasi pesawat udara, membuat stasiun tak banyak diminati dan akhirnya berhenti beroperasi pada tahun 2001. Di sekitar stasiun itu pun sempat diramaikan oleh praktek prostitusi, bahkan hingga menggunakan gerbong yang tidak terpakai.

Stasiun sempat dihidupkan kembali pada tahun 2009, namun akhirnya hanya bertahan lima tahun. Sejak 1 November 2014, kereta penumpang di stasiun resmi dihentikan.

Kini, PT Kereta Api Indonesia (KAI) berencana kembali menghidupkan stasiun yang lama mati suri dari aktivitas transportasi masyarakat umum. Awal Desember 2015, jalur Tanjung Priok - Jakarta Kota kembali diaktifkan dan dilintasi KRL.

"Saya minta PT KCJ, awal Desember (2016) sudah jalan," kata Direktur Jenderal Perkeretaapian Kementerian Perhubungan Hermanto di Stasiun Tanjung Priok, Senin (23/11/2015).

Sistem persinyalan pun turut dibenahi. Beberapa komponen yang sempat rusak dan tua diganti. Namun, mencari komponen baru untuk sistem persinyalan di Stasiun Tanjung Priok tak mudah. Sebab, komponen tersebut sudah berumur tua.

"Kemarin masalah sinyal. Banyak komponen hilang dan nyari sparepartnya itu agak susah," jelas Hermanto.

Meski tak lagi menghidupkan beberapa fasilitas seperti hotel, bar dan ruang dansa, stasiun akan tetap menyimpan jejak sejarahnya sendiri. Masayarakat umum akan merasakan berada di stasiun dengan gaya klasik Eropa, sebab stasiun tak akan banyak diubah.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Polisi Tangkap Pembunuh Pedagang Perabot di Duren Sawit, Ternyata Anak Kandung Sendiri

Polisi Tangkap Pembunuh Pedagang Perabot di Duren Sawit, Ternyata Anak Kandung Sendiri

Megapolitan
Diduga Korsleting, Bengkel Motor Sekaligus Rumah Tinggal di Cibubur Terbakar

Diduga Korsleting, Bengkel Motor Sekaligus Rumah Tinggal di Cibubur Terbakar

Megapolitan
Kardinal Suharyo Tegaskan Gereja Katolik Tak Sama dengan Ormas Keagamaan

Kardinal Suharyo Tegaskan Gereja Katolik Tak Sama dengan Ormas Keagamaan

Megapolitan
Ditawari Izin Tambang, Kardinal Suharyo: Itu Bukan Wilayah Kami

Ditawari Izin Tambang, Kardinal Suharyo: Itu Bukan Wilayah Kami

Megapolitan
Pemuda yang Sekap dan Aniaya Kekasihnya di Pondok Aren Ditangkap Polisi

Pemuda yang Sekap dan Aniaya Kekasihnya di Pondok Aren Ditangkap Polisi

Megapolitan
Pengelola Rusunawa Marunda Lapor Polisi soal Penjarahan Sejak 2023

Pengelola Rusunawa Marunda Lapor Polisi soal Penjarahan Sejak 2023

Megapolitan
Paus Fransiskus Kunjungi Indonesia: Waktu Singkat dan Enggan Naik Mobil Antipeluru

Paus Fransiskus Kunjungi Indonesia: Waktu Singkat dan Enggan Naik Mobil Antipeluru

Megapolitan
Pedagang Perabot di Duren Sawit Tewas dengan Luka Tusuk

Pedagang Perabot di Duren Sawit Tewas dengan Luka Tusuk

Megapolitan
Tak Disangka, Grafiti Bikin Fermul Belajar Mengontrol Emosi

Tak Disangka, Grafiti Bikin Fermul Belajar Mengontrol Emosi

Megapolitan
Sambut Positif jika Anies Ingin Bertemu Prabowo, PAN: Konsep 'Winner Takes All' Tidak Dikenal

Sambut Positif jika Anies Ingin Bertemu Prabowo, PAN: Konsep "Winner Takes All" Tidak Dikenal

Megapolitan
Seniman Grafiti Ingin Buat Tembok Jakarta Lebih Berwarna meski Aksinya Dicap Vandalisme

Seniman Grafiti Ingin Buat Tembok Jakarta Lebih Berwarna meski Aksinya Dicap Vandalisme

Megapolitan
Kunjungan Paus ke Indonesia Jadi yang Kali Ketiga Sepanjang Sejarah

Kunjungan Paus ke Indonesia Jadi yang Kali Ketiga Sepanjang Sejarah

Megapolitan
Kardinal Suharyo: Kunjungan Paus Penting, tapi Lebih Penting Mengikuti Teladannya

Kardinal Suharyo: Kunjungan Paus Penting, tapi Lebih Penting Mengikuti Teladannya

Megapolitan
Paus Fransiskus Akan Berkunjung ke Indonesia, Diagendakan Mampir ke Istiqlal hingga GBK

Paus Fransiskus Akan Berkunjung ke Indonesia, Diagendakan Mampir ke Istiqlal hingga GBK

Megapolitan
Warga Langsung Padati CFD Thamrin-Bundaran HI Usai Jakarta Marathon

Warga Langsung Padati CFD Thamrin-Bundaran HI Usai Jakarta Marathon

Megapolitan
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com