Wacana kemunculan Risma dalam Pilgub Jakarta berkembang menjadi polemik kencang dalam diskusi politik akhir-akhir ini.
Selain argumen penolakan tentang sebaiknya setiap daerah memiliki pemimpin terbaiknya masing-masing, fenomena di atas memunculkan sebuah pertanyaan menggelitik yakni ada apakah dengan Jakarta?
Khususnya ada apa dengan kepemimpinan di Kota Jakarta dengan segenap tata kelola dan hubungan sosialnya.
Persoalan ini sebetulnya nampak tidak saja di antara elit politik dan birokrasi, namun juga dalam relasi dengan warganya terutama mereka yang terkesampingkan dalam deru pembangunan.
Adalah benar bahwa potret snapshot tentang kinerja Gubernur DKI Jakarta Ahok yang tergambar dalam survei-survei memperlihatkan tingkat kepuasaan yang cukup lumayan terhadap kinerjanya.
Namun demikian apa yang tergambar di permukaan belum tentu mencerminkan secara otomatis apa yang menjadi realitas darikota Jakarta.
Di permukaan kita melihat kepemimpinan Jakarta yang mewadahi mimpi warga kota Jakarta yang ramah terhadap investasi, kota yang tengah membersihkan diri dari kekumuhannya, pemimpin yang tegas terhadap masalah korupsi birokrasi.
Sebuah gambaran yang selintas memperlihatkan konsistensi Gubernur Jakarta Ahok terhadap agenda good governance.
Namun demikian, realitas terdalamnya tidaklah bebas dari problematika maupun paradoks tata kelola pemerintahan.
Tulisan ini akan memperlihatkan bahwa citra tentang Ahok konsisten terhadap agenda-agenda pemerintahan yang baik dalam banyak hal tidak lolos uji ketika dihadapkan pada prinsip-prinsip utama dari tata kelola pemerintahan yang baik seperti partisipasi, transparansi dan akuntabilitas.
Partisipasi publik
Prinsip partisipasi publik adalah pilar utama dari tata kelola pemerintahan yang baik (good governance). Partisipasi sebagai penyangga dari good governance berangkat dari pemahaman bahwa dalam tatanan politik demokrasi negara dan pemimpinnya tidak dapat memimpin warganya sendirian.
Pemimpin tidak bisa mendasarkan kebijakan yang diambil hanya dari apa yang dianggapnya baik tanpa melibatkan agenda dan aspirasi dari bawah maupun suara-suara dari warga yang menjadi tujuan dari kebijakan tersebut.
Tata kelola pemerintahan yang baik tercipta melalui pembentukan jejaring antara negara dan komunitas masyarakat yang di dalamnya warga memiliki ruang memadai untuk mempengaruhi kebijakan bagi dirinya.
Prinsip partisipasi publik dalam agenda good governance memberi ruang melalui kanal forum warga, diskusi publik antara warga dan pemerintah serta pembentukan ruang negosiasi dua arah (bukan satu arah) tentang bagaimana semestinya nasib mereka ditentukan dalam hidup bernegara.