JAKARTA, KOMPAS.com —
Menata pedagang kaki lima di Jakarta itu seperti menegakkan benang basah. Susahnya minta ampun. Berkali-kali ditata di tempat yang layak, PKL kembali menempati badan jalan, trotoar, dan ruang publik yang seharusnya bukan untuk berdagang.

Namun, apa benar menata PKL itu susah. Kawasan niaga Tanah Abang yang bertahun-tahun tak bisa ditata ternyata bisa ditata walaupun masih ada kekurangan. Pada awalnya, penataan yang dimulai sejak Juli 2013 itu berlangsung menegangkan.

Sebelum penataan dilakukan, pedagang, tokoh masyarakat, dan tokoh politik skeptis, bahkan sebagian menentang rencana ini. "Mana mungkin Tanah Abang bisa ditertibkan. Dari dulu juga begini," kata salah seorang pedagang kurma sebelum penertiban dimulai Juli lalu.

Untuk memperlancar program ini, Pempov DKI membentuk tim gabungan dengan koordinator Kepala Dinas Perhubungan DKI Udar Pristono. Tim bertemu setiap Rabu untuk membahas penataan yang melibatkan wali kota serta pihak kecamatan dan kelurahan. Tim sepakat, penegakan hukum berada di atas segalanya. Sikap ini didukung sepenuhnya oleh Gubernur dan Wakil Gubernur.

Ribuan PKL yang menempati badan jalan di kawasan Tanah Abang diminta pindah. Pemprov DKI Jakarta menyiapkan tempat relokasi di Blok G, di Jalan Jati Baru, Tanah Abang. Seiring penertiban, pasar Blok G dipermak habis hingga kemudian terlihat kinclong seperti saat ini.

Puluhan kali Gubernur Joko Widodo mengontrol langsung penataan Tanah Abang. Kerap kali, Jokowi memberi perintah kepada pejabat terkait ketika melihat ketidakberesan di lapangan. Hasilnya, sekitar 800 PKL terserap di pasar Blok G. Sebagian PKL yang tidak tertampung disediakan tempat berdagang di lahan kosong di area Tanah Abang. Ketegangan di awal penataan akhirnya berujung persetujuan pindah ke dalam pasar tanpa ada gesekan.

Pasca-penertiban, arus lalu lintas Tanah Abang menjadi hidup. Hampir semua angkutan umum yang menuju dan dari Tanah Abang dilewatkan ke jalan yang sebelumnya ditempati PKL. Selain untuk menekan PKL masuk ke area yang disediakan, konsep ini diterapkan juga untuk memancing pengunjung datang ke pasar Blok G, tempat PKL berjualan.

Model penataan serupa diterapkan di Pasar Minggu, Jakarta Selatan, dan Jatinegara, Jakarta Timur. Namun, tidak seperti Tanah Abang, PKL di Pasar Minggu dan Jatinegara kembali menempati badan jalan setelah ditertibkan. Di Pasar Minggu, konsumen enggan naik ke lantai dua dan tiga tempat PKL mendapat kios baru.

Sementara PKL Gembrong menagih janji pemerintah yang akan menyediakan tempat khusus untuk pedagang mainan. "Tidak ada yang berubah di pasar yang menjadi tempat relokasi," kata Wibowo (55), salah satu PKL Gembrong.

Pekerjaan rumah

Penempatan PKL tidak segampang membalik tangan. Selain jumlah pedagang yang sudah terlalu banyak, lokasi strategis yang tersedia untuk berjualan juga sangat terbatas. Padahal, karakter PKL mendekati pembeli di tempat strategis agar dagangannya laku. Pemerintah dinilai belum mengerjakan pekerjaan rumahnya, yaitu membuat basis data PKL terbaru sebagai dasar penataan pedagang nonformal itu.

Data akurat PKL diperlukan untuk memastikan program penataan tidak salah sasaran. Tanpa peta data PKL, program pembinaan dan penataan bisa salah sasaran. "Selama ini jumlahnya beragam versi. Jika tanpa peta data, bagaimana bisa menentukan sasaran program pembinaan," kata pengamat perkotaan Universitas Trisakti Nirwono Joga.

Terkait data PKL, Ketua Asosiasi Pedagang Kaki Lima Indonesia (APKLI) DKI Jakarta Hoiza Siregar mempertanyakan, siapa yang bisa memastikan pedagang di Blok G adalah PKL yang sebelumnya berada di jalanan. Siapa pula yang bisa menjamin yang berdagang di Kaki Lima Night Market di depan Balaikota, Jalan Medan Merdeka Selatan, Jakarta Pusat, adalah PKL. "Ini semua karena Pemprov DKI tidak punya basis data jelas soal jumlah dan lokasi PKL di kotanya sendiri."

Menurut Hoiza, anggotanya kini mencapai 300.000 PKL. Namun, di luar PKL yang tergabung dalam APKLI, diyakini masih banyak lagi yang tidak terdata. Apalagi, ketika kios di pasar-pasar pascarenovasi yang dikelola PD Pasar Jaya semakin tak bisa dijangkau, banyak pedagang pasar pemilik kios terpelanting menjadi PKL.

Menurut Hoiza, butuh keseriusan menata PKL karena jumlahnya yang cukup besar. Hoiza yakin PKL adalah salah satu pendongkrak perekonomian di belantara Ibu Kota.

Selain persoalan data, kerja sama lini depan pemerintah belum semua bisa kompak. Tidak jarang pengurus RT, RW, satpol PP, bahkan polisi setempat yang ikut menangguk untung dari PKL. Persoalan ini diakui Isnawa Aji, Asisten Perekonomian Sekretaris Kota Jakarta Barat.