JAKARTA, KOMPAS.com - Piringan hitam The Beatles hanya mampir sejenak di lapak milik Lian (50). Tidak berapa lama, setumpuk rekaman kelompok musik legendaris asal Inggris itu berpindah tangan ke pemilik baru yang merupakan warga negara Jepang.

Bagi peminat musik lawas dan piringan hitam, lapak-lapak di sepanjang Jalan Surabaya, Menteng, Jakarta Pusat, itu merupakan tempat berburu yang mengasyikkan. Tempatnya mudah dicapai karena terletak di tengah kota Jakarta. Jalan Surabaya diapit Jalan Diponegoro dan Jalan Cilacap. Lokasi pasar berjarak sekitar 1 kilometer dari Stasiun Kereta Api Cikini. Bisa juga ditempuh dengan beberapa bus, antara lain PPD 213 Kampung Melayu-Grogol. Ada juga area parkir mobil di depan lapak-lapak. Sayangnya, area parkir sepeda motor berada di trotoar seberang lapak.

Ada 12 lapak yang menjual piringan hitam di Jalan Surabaya, bertetangga dengan ratusan lapak yang menawarkan barang antik berikut koper dan tas.

Jika mendapatkan koleksi piringan hitam dari grup musik atau penyanyi yang populer di era 1960-an atau 1970-an, bisa dipastikan umur piringan hitam itu tidak lama di lapak. ”Lebih banyak yang mencari daripada yang menjualnya,” kata Lian, Minggu (13/4).

Tidak hanya grup musik mancanegara, seperti The Beatles, yang punya banyak penggemar. Grup musik lokal, seperti Ariesta Birawa, yang populer tahun 1970-an, Semalam di Malaya milik Saiful Bahri, atau tembang-tembang penyanyi Ebiet G Ade juga tidak kalah populer dan diburu di sini.

”Kalau ada piringan hitam yang kondisinya masih sangat bagus, harga jualnya bisa sampai jutaan,” kata Lian yang melanjutkan usaha orangtuanya.

Maka, keberuntunganlah yang menjadi salah satu faktor yang tidak kalah penting manakala kita berburu barang unik di Pasar ini. Kalau masih penasaran dan ingin mendapatkan barang yang dicari, bolehlah kita tinggalkan nomor kontak agar bisa dihubungi penjual barang. Mereka akan menghubungi kita jika barang yang dicari ada di tangan. Sebab, ketersediaan barang bekas ini sangat tergantung ada atau tidaknya orang yang menjual barang ke pedagang di situ.

Lain piringan hitam, lain lagi aneka barang antik. Ratusan bahkan ribuan jenis barang antik dipajang di 112 lapak yang ada di situ. Barang antik yang dimaksud, mulai dari sendok perak, hiasan perak, mainan seperti angklung, setrika besi dengan logo ayam jago, lampu hias, bel sapi, sampai jam kapal, tersedia di sini. Pembeli juga bisa meminta agar barang yang dibeli disepuh kuning agar terlihat antik.

Bagi yang tertarik dengan tas, sepatu, atau jaket dari kulit sapi atau kambing, puluhan pedagang juga menyediakan beragam pilihan. ”Barang dari kulit yang dijual di sini adalah barang pilihan, baik produksi dalam maupun luar negeri. Harga barang lokal bisa separuh dibandingkan barang luar negeri. Beberapa penjual juga menerima pesanan pembuatan sepatu kulit,” kata Nanang Suryana, koordinator pedagang koper dan tas.

Pemburu barang antik ini harus menyiapkan kaki untuk kuat berjalan menyusuri trotoar sepanjang sekitar 600 meter. Pembeli juga harus rajin-rajin menyisir setiap lapak karena sejumlah lapak memiliki ciri khas barang yang ditawarkan.

Jangan lupa menawar

Tawar-menawar saat bertransaksi di pasar ini merupakan salah satu tips yang bisa dilakukan calon pembeli ataupun calon penjual barang bekas. Tidak ada standar harga kecuali kesepakatan di antara kedua pihak.

Harga jual piringan hitam lagu tahun 1970-an dari band lokal terkenal bisa mencapai jutaan rupiah. Itu pun banyak yang mencari. Sebaliknya, harga piringan hitam dari penyanyi atau grup yang kurang populer berkisar Rp 100.000 sampai Rp 300.000.

Harga barang-barang antik berupa aksesori dari Rp 100.000 hingga jutaan rupiah.

Harga jual tas perempuan berbahan campuran kulit dan sintetis mulai Rp 300.000. Jika menginginkan tas dari bahan kulit seluruhnya, harganya bisa mencapai Rp 600.000. Tentu saja harga ini tidak bisa jadi patokan karena harga tas bergantung ukuran, model, dan bahan.

Selain itu, kehati-hatian juga diperlukan untuk memastikan keaslian dan kualitas barang, terutama barang antik.

Ujang, penjual barang antik, mengatakan, tidak semua barang yang dijualnya antik. Sebagian adalah barang baru yang dipermak sehingga seolah-olah barang lawas.

Barang antik merupakan cikal bakal pasar ini. Ujang mengatakan, semula penjual barang antik keliling memanfaatkan kerindangan pohon di Jalan Surabaya ini untuk beristirahat tahun 1970-an. ”Dari satu-dua pedagang, lantas membentuk seperti lapak gelaran. Orang mulai mengenal tempat ini sebagai tempat menjual barang antik,” katanya.

Lokasi penjualan barang antik ini lantas ditata menjadi kios-kios di trotoar. Untuk memberikan tempat bagi pejalan kaki, ada garis merah pembatas barang dagangan penjual. Sekitar satu meter lebar trotoar dijadikan tempat berjalan kaki. Sayangnya, masih ada pedagang yang menaruh kursi di area pejalan kaki sehingga memakan ruang bagi pedestrian.

Jika tertarik berburu barang unik di pasar ini, pastikan Anda tiba antara pukul 08.00 dan pukul 18.00 sesuai jadwal operasional resmi pasar ini. (Agnes Rita Sulistyawaty)