KOMPAS.com - Hari raya Idul Fitri 1435 Hijriah telah sebulan berlalu. Namun, kemeriahannya masih terasa di arena Lebaran Betawi di kawasan Monas, Jakarta Pusat. Pernak-pernik khas dan tradisional ditampilkan di deretan etalase. Inilah acara yang dicitakan jadi pengungkit tradisi.

Pengunjung silih berganti berfoto di depan replika rumah khas Betawi di stan Pemerintah Kota Jakarta Selatan. Mereka mejeng di dekat sepeda kuno, aksesori pintu dan pagar rumah, serta di antara ondel-ondel. Tak sedikit yang memotret diri sendiri dengan tongkat narsis.

Situasi serupa terlihat di stan-stan kecamatan dan pemerintah kota yang berderet. Termasuk rumah tradisional Betawi khas pesisir di stan Pemerintah Kota Jakarta Utara. Selain jendela dan pagar yang khas, stan itu juga dihiasi dengan bunga dan lampu hias, ondel-ondel, serta ornamen khas seperti ondel-ondel dan bunga kelapa warna-warni.

”Ayo masuk, pantang keluar sebelum nyicipin, banyak makanan, nih, di Meja Nyai!” kata seorang penjaga stan Kota Jakarta Utara. Ada tape uli, dodol, wajik, es cendol, es selendang mayang, serta makanan utama mi cap go meh, semur jengkol, dan gabus pucung.

”Meja Nyai, tempat menyajikan makanan, biasanya diisi sejumlah makanan khas Betawi itu saat Lebaran. Sajian untuk sanak famili, tetangga, dan semua orang yang datang bersilaturahim,” kata Kepala Suku Dinas Kebudayaan Jakarta Utara Sahat Sitorus.

Stan-stan pemerintah kota itu menyajikan makanan dan minuman gratis untuk pengunjung. Namun, selain makanan dan replika bangunan, panitia juga menggelar stan kuliner khas, pameran produk, dan kesenian khas, seperti tanjidor, silat betawi, gasing, dan gambang keromong.

Sejarawan JJ Rizal berpendapat, Lebaran Betawi tak lagi banyak disadari masyarakat saat ini. Oleh karena itu, tradisi itu perlu dikenalkan lagi kepada generasi muda (Kompas, 30/7). Menurut Rizal, Lebaran Betawi sarat harmoni budaya. Dia mencontohkan memotong kerbau yang merupakan tradisi masyarakat agraris pra-Islam, petasan dan kue keranjang yang khas Tiongkok, nastar dan kastengel yang dari Belanda, serta ubi-ubian, dodol, dan ketan yang khas masyarakat agraris lokal.

Sayang, sosialisasi acara dinilai kurang. Ryan (27), pengunjung asal Kalideres, Jakarta Barat, mengaku kebetulan berkunjung ke Lebaran Betawi. ”Awalnya mau ke Ragunan, tetapi antrean penumpang transjakarta padat di Halte Monas. Saya lalu mampir ke sini,” ujarnya.

Namun, Neni (39), pengunjung acara Lebaran Betawi, mengatakan sengaja datang untuk merasakan kembali suasana asli Betawi yang kini jarang dia temui. ”Saya orang Betawi asli, datang ke sini rasanya seperti kembali ke kampung zaman dulu,” tutur Neni. (MKN/*)