Sentra penjualan buku Kwitang terletak di satu sudut simpang lima Senen. Persisnya diapit Jalan Senen Raya dan Jalan Kwitang Raya. Sebelum 2008, lokasi ini mudah terlihat karena masih marak pedagang kaki lima yang berjualan buku bahkan hingga tumpah ke jalan. Jumlah pedagang kala itu mencapai ratusan orang.
Saat ini, penjual buku sudah menempati lantai 1 ruko-ruko, baik di sisi Jalan Senen Raya maupun Jalan Kwitang Raya. Satu ruko diisi puluhan pedagang yang berbagi ruang untuk menggelar barang dagangan. Buku-buku disusun hingga tinggi menempel ke dinding. Ada juga satu-dua pedagang yang memanfaatkan trotoar atau memakai gerobak untuk memajang barang dagangannya.
Yang selalu terasa khas sejak dulu hingga kini adalah setiap pedagang di Kwitang selalu memiliki stok berbagai buku dengan jumlah melimpah. ”Dulu saya mulai jualan dengan ratusan judul buku. Sekarang ada 1001 judul buku. Semua saya hafal judul dan letaknya,” kata Salmah (65), seorang pedagang buku, sambil tersenyum.
Ketika ada pembeli datang, dengan sigap dia mencari buku yang dimaksud. Tidak perlu bersusah payah meneliti deretan judul, buku yang dimaksud itu langsung diperoleh. Salmah juga hafal ada berapa eksemplar buku dengan judul yang sama di kiosnya.
Kalau judul yang diminta pembeli tidak dimilikinya, dia langsung mencari ke lapak milik teman-teman seprofesinya. Yang penting, pembeli bisa cepat mendapatkan buku yang dimaksud.
Hal serupa dialami Pai (63). Pai tidak ingat kapan dia mulai menjual buku. Yang diingatnya, dia sudah beberapa kali mengalami penataan kawasan.
”Awalnya kami jualan di depan ruko ini. Terus disuruh masuk ke jalan-jalan di pinggir agar tidak mengganggu lalu lintas. Terus, kena lagi penertiban pada 2008. Saya pindah ke lantai 4 Pasar Senen. Di sana bareng dengan penjual baju seken. Saya enggak tahan udaranya karena pengap. Cuma tahan 4 tahun di sana. Pembelinya juga sedikit. Lalu cari tempat sama teman-teman dan dapat di ruko ini,” ujar Pai.
Remah rezeki
Meskipun berpindah-pindah, Pai mengaku tidak jera. Kesetiaannya pada profesi ini membuatnya bisa menyekolahkan empat anaknya. Si sulung bahkan sudah menjadi dosen.
Walaupun begitu, perubahan zaman tidak bisa dimungkirinya membawa perbedaan rezeki juga. Dulu menjual buku sangat mudah. Dalam sehari, omzetnya mencapai Rp 2 juta. Apalagi, bila dia bisa mendapatkan buku-buku yang dilarang beredar pada zaman Orde Baru.
Setelah internet berkembang, minat baca buku orang menurun. Kini, sering kali uang yang didapatkan hanya cukup membayar sewa ruangan Rp 35.000 per hari atau Rp 1 juta per bulan per pedagang. Kalau sedang beruntung, bisa dapat Rp 150.000. Pada Juli-Agustus, penjualan buku agak baik karena bertepatan dengan tahun ajaran baru.
Selain buku pelajaran dari tingkat SD hingga kuliah, Pai juga masih menyimpan beberapa buku lawas bekas yang sering kali bentuknya tidak utuh lagi. Buku yang umumnya berbahasa Inggris itu pun tetap diburu orang.
Katalog hidup
Bagi banyak pelanggan setia, kawasan Kwitang masih menjadi sentra buku. Banyak alasan mereka tetap setia datang ke Kwitang. Tidak peduli hanya tersedia kipas angin yang tak mempan menangkis sengatan hawa panas Jakarta, pembeli silih berganti datang ke sini.
Riston (22), warga Jakarta Timur, beberapa kali mendapatkan buku yang dicari di Kwitang. ”Sejak kuliah, saya sering ke sini. Biasanya sih nyari buku kuliah,” katanya.
Selain mudah mendapatkan buku yang dicari, harga buku lebih miring dibandingkan di toko buku. ”Selisihnya bisa Rp 20.000 lho,” ujarnya gembira.