Penanganan terhadap penderita gangguan kejiwaan dengan orang normal berbeda sehingga BPJS seharusnya tidak menerapkan standar yang sama untuk keduanya.
"Akibat BPJS, harus bawa pasien yang galau, pergi dua jam, pulang dua jam juga. BPJS malah repot, haduuhhh," kata Djarot sembari menggelengkan kepala, Kamis (18/6/2015).
Menurut Djarot, persoalan yang dihadapi oleh kepala panti terkait BPJS adalah soal prosedur. Sebelum ada BPJS, ada dokter jiwa yang langsung mengunjungi panti dan membawa obat yang dibutuhkan. Langkah ini waktu itu disebut klinik satelit, dan berlangsung dari tahun 2010 sampai 2014.
Namun, setelah ada program BPJS, orang dengan gangguan jiwa harus pergi ke rumah sakit jiwa terdekat, yakni di Duren Sawit, Jakarta Timur. Prosedur seperti itu dikeluhkan juga oleh Kepala Panti Sosial Bina Laras Harapan Sentosa 1 Sarima.
Orang dengan masalah kejiwaan sangat membutuhkan obat untuk pemulihan dirinya. Tanpa obat, mereka akan lebih sulit dibina. Jika harus satu per satu datang ke rumah sakit meminta obat, maka proses itu akan memakan waktu cukup lama dan tidak efektif.
"Bisa bapak-ibu perhatikan, berapa jam dari sini (Cengkareng) ke sana (Duren Sawit). Mereka itu tidak tidur. Tanpa obat, kehidupan mereka susah kita bina karena obat itulah yang membuat jiwanya tenang, syarafnya tenang. Tanpa obat, kami tidak bisa membimbing mereka untuk masalah sosialnya," kata Sarima.
Djarot mengaku akan berkoordinasi dengan penyelenggara BPJS, khusus untuk kasus orang dengan masalah kejiwaan. Dia juga berjanji akan memberikan bantuan lebih jika BPJS belum bisa menyediakan obat secara tepat waktu.
"Kalau (BPJS) enggak ada (obat), kita beli sendiri. Tidak boleh mereka ini terlambat," ucap dia.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.