Dokumen yang dimiliki ICW tersebut berupa surat yang dikirimkan Efdinal kepada Gubernur DKI Jakarta.
Permintaan pertama disampaikan pada 9 Desember 2008 ditujukan langsung pada Gubernur DKI Jakarta. Penawaran kedua pada 22 Juli 2009 ditujukan ke Kepala Dinas Pertamanan dan Pemakaman.
Ketiga, yakni pada 27 Oktober 2011, Efdinal mengirimkan surat kepada Ketua Panitia Pembebasan Tanah (P2T) Wali Kota Jakarta Timur, dan surat keempat dikirimkan pada 3 Desember 2012 dan kembali ditujukan kepada Kepala Dinas Pertamanan dan Pemakaman.
Secara garis besar, isi keempat surat itu sama, yakni permintaan agar Pemprov DKI melunasi empat lahan yang diketahui telah menjadi milik Efdinal namun masih diatasnamakan pemilik lama, yaitu Mat Sohe, Bahrudin Encit, dan Asan Kajan.
Ketiganya merupakan warga yang tinggal di sekitar TPU Pondok Kelapa. Dalam surat juga dinyatakan bahwa semua lahan ditawarkan dengan harga di bawah Nilai Jual Objek Pajak (NJOP) tahun yang sedang berjalan, dan masih dapat dinegosiasikan dengan harga yang menguntungkan Pemprov DKI.
Selain keempat surat itu, dokumen ICW juga menyebutkan bahwa pada 25 April 2013, Efdinal pernah melayangkan surat kepada Kepala BPK Perwakilan DKI Jakarta yang meminta agar BPK DKI mengaudit status keempat bidang lahan tersebut.
Sementara itu, Efdinal sebelumnya membantah tudingan ICW yang menilainya memanfaatkan kewenangannya untuk mencari keuntungan dengan menawarkan lahan sengketa kepada Pemerintah Provinsi DKI Jakarta.
Efdinal mengaku hanya ingin membantu tiga pemilik lahan yang mendatanginya pada 2005. Ketika itu, Efdinal masih menjadi staf di BPK.
Menurutnya, dokumen yang dibawa ketiga warga pemilik lahan itu membuktikan bahwa kepemilikan lahannya sah.
Hal itu juga diperkuat dengan bukti pembayaran Pajak Bumi dan Bangunan, bukti pengukuran dari Dinas Penataan Kota dan Badan Pertanahan Nasional.
Efdinal justru menduga aparat Pemprov DKI sengaja mengelabui ketiga warga yang ternyata buta huruf itu.
Dalam kasus itu, Pemprov DKI mengklaim lahan milik ketiga orang tersebut merupakan lahan milik orang lain.
Atas dasar itulah Efdinal mengaku tergerak untuk membantu ketiga warga tersebut. Ia juga mengakui bahwa kasus sengketa lahan itu memang dimasukan pada Laporan Hasil Pemeriksaan (LHP) DKI Jakarta 2014, karena dia baru menjabat sebagai Kepala BPK Perwakilan DKI pada akhir 2014.
Menurut Efdinal, selama 2005 hingga 2014 ia hanya membantu dalam hal advokasi. Saat itu, ia mengaku belum bisa banyak membantu karena tidak punya wewenang.
Setelah menjadi Kepala BPK Perwakilan DKI Jakarta, barulah Efdinal meminta audior di BPK mengecek ke lapangan terkait status lahan dengan luas sekitar 9.000 meter persegi itu.
Dari hasil pengecekan, didapat data bahwa status lahan masih sama seperti sebelumnya, yakni masih dimiliki oleh warga.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.