JAKARTA KOMPAS.com - Anggota Jaringan Solidaritas untuk Korban Kekerasan Lina Zurlina mengatakan, meningkatnya jumlah kasus-kasus kekerasan seksual terhadap perempuan dan anak serta kelompok disabilitas menunjukkan pemerintah gagal dalam memberikan perlindungan kepada masyarakat.
Menurut Lina, pelaku kekerasan seksual terhadap perempuan kerap lolos dari hukum atau mendapatkan hukuman yang minim.
"Hal ini menunjukkan bahwa pemerintah tidak benar-benar serius berpihak pada perempuan, anak dan disabilitas terutama mereka yang telah menjadi korban," kata Lina dalam acara Malam Solidaritas 40 hari kematian YY, di Tugu Proklamasi, Jakarta, Jumat (13/5/2016).
Pada acara solidaritas tersebut, dibacakan enam tuntutan. Pertama, pemerintah dan kepolisian daerah Bengkulu untuk bersikap tegas dalam menangani kasus perkosaan dan pembunuhan terhadap YN sesuai dengan hukum yang berlaku.
Kedua, pemerintah secara serius menangani kasus kekerasan seksual dengan melakukan upaya pencegahan, pembenahan aturan hukum dan menciptakan sistem peradilan yang berpihak pada korban.
Ketiga, pemerintah dan semua lembaga penegakan hukum di Indonesia untuk menyelenggarakan pelatihan-pelatihan penanganan kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak menggunakan perspektif perempuan atau korban kepada personel di jajarannya.
Keempat, pemerintah dan DPR RI segera bahas dan sahkan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual. Kelima, menolak hukuman kebiri dan hukuman mati karena memperpanjang rantai kekerasan.
"Negara harus memusatkan perhatian pada upaya pemulihan, rehabilitasi dan penghapusan stigma terhadap korban," kata Lina.
Keenam, pemerintah segera mendorong kurikulum pendidikan seksual yang komprehensif di institusi pendidikan mulai dari tingkat rendah hingga perguruan tinggi.
"Kekerasan Seksual adalah kejahatan sistemik yang tidak bisa diselesaikan hanya dengan penghukuman semata," kata Lina.