Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Alasan Buruh Minta Pemerintah Cabut UU "Tax Amnesty"

Kompas.com - 29/09/2016, 12:58 WIB
Robertus Belarminus

Penulis

JAKARTA, KOMPAS.com - Dalam aksi unjuk rasa yang digelar Kamis (29/9/2016) ini, para buruh dari sejumlah organsiasi buruh menuntut pemerintah mencabut Undang-Undang Tax Amnesty. Pasalnya, buruh merasa pengampunan pajak hanya menguntungkan korporasi atau pengusaha, tapi tidak adil bagi buruh.

Hal itu disampaikan Presiden Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) Said Iqbal. Said mengatakan, buruh tetap membayar pajak. Sementara pengusaha dan pengemplang pajak diampuni dengan kebijakan itu.

"Bagi buruh Undang-Undang Tax Amnesty ini mencerderai rasa keadilan para buruh, buruh taat bayar pajak tetapi orang-orang kaya, korporasi, pengusaha hitam, orang-orang pemilik modal besar diampuni pajaknya," kata Said di sekitar Patung Kuda, Jalan Medan Merdeka, Jakarta Pusat, Kamis (29/9/2016).

"Puluhan tahun mereka tidak bayar pajak, puluhan tahun buruh bayar pajak, tapi mereka tak ampuni (pajak buruh)," kata Said.

Ia juga meminta soal pengampunan pajak ini dikritisi dengan serius. Ia mempersoalkan, bagaimana kalau yang dihapuskan utangnya pajaknya justru dana hasil kejahatan dan korupsi.

"Karena di situ tak jelas sumbernya dari mana, dana korupsi, dana trafficking, dana narkoba. Seperti korupsi BLBI yang lalu, ratusan triliun dana itu akan menjadi legal ketika mereka ikuti tax amnesty," kata Said Iqbal.

Karena itu, lanjut dia, harusnya bukan tax amnesty yang pemerintah lakukan. "Tetapi intensifikasi dan ekstensifikasi wajib pajak, menambah jumlah wajib pajak berapa, membuat data yang akurat sehingga kita bisa mengejar wajib pajak," ujar Said.

Buruh, menurutnya, harus peduli pada masalah reformasi perpajakan. Sebab, pajak bermanfaat bagi kas negara sehingga menjadi besar. Kas negara yang besar bisa bermanfaat membiayai berbagai program pembangunan terutama program kesejahteraan dan jaminan sosial.

"Mulai dari tunjangan ibu hamil dan melahirkan, tunjangan pendidikan anak atau sekolah gratis hingga perguruan tinggi, jaminan kesehatan, jaminan pengangguran, pelayanan transportasi, dan perumahan murah untuk rakyat, serta tunjangan guru," kata Said.

Undang-Undang Tax Amnesty dinilai melanggar Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 23A, yang menyatakan pajak bersifat memaksa bukan pengampunan. Pasal 27 yang menyatakan setiap warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum.

Pasal 28 F menyatakan setiap warga negara berhak mendapatkan informasi yang terbuka seluas-luasnya, dan pasal 24 yang menyatakan tentang Hak Asasi Manusia. 

Saat ditanyakan, mengapa baru sekarang protes? Said mengklaim bahwa buruh sejak awal sudah menolak kebijakan itu dengan mendatangi DPR RI. Namun, kebijakan itu tetap berjalan.

"Ketika itu mulai berjalan kami sudah melakukan judicial review ke Mahkamah Konstitusi," kata Said.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Ulah Sindikat Pencuri di Tambora, Gasak 37 Motor dalam 2 Bulan untuk Disewakan

Ulah Sindikat Pencuri di Tambora, Gasak 37 Motor dalam 2 Bulan untuk Disewakan

Megapolitan
Upaya Chandrika Chika dkk Lolos dari Jerat Hukum, Ajukan Rehabilitasi Usai Ditangkap karena Narkoba

Upaya Chandrika Chika dkk Lolos dari Jerat Hukum, Ajukan Rehabilitasi Usai Ditangkap karena Narkoba

Megapolitan
Mochtar Mohamad Resmi Daftar Pencalonan Wali Kota Bekasi pada Pilkada 2024

Mochtar Mohamad Resmi Daftar Pencalonan Wali Kota Bekasi pada Pilkada 2024

Megapolitan
Keluarga Ajukan Rehabilitasi, Chandrika Chika dkk Jalani Asesmen di BNN Jaksel

Keluarga Ajukan Rehabilitasi, Chandrika Chika dkk Jalani Asesmen di BNN Jaksel

Megapolitan
Banyak Warga Protes NIK-nya Dinonaktifkan, padahal 'Numpang' KTP Jakarta

Banyak Warga Protes NIK-nya Dinonaktifkan, padahal "Numpang" KTP Jakarta

Megapolitan
Dekat Istana, Lima dari 11 RT di Tanah Tinggi Masuk Kawasan Kumuh yang Sangat Ekstrem

Dekat Istana, Lima dari 11 RT di Tanah Tinggi Masuk Kawasan Kumuh yang Sangat Ekstrem

Megapolitan
Menelusuri Kampung Kumuh dan Kemiskinan Ekstrem Dekat Istana Negara...

Menelusuri Kampung Kumuh dan Kemiskinan Ekstrem Dekat Istana Negara...

Megapolitan
Keluh Kesah Warga Rusun Muara Baru, Mulai dari Biaya Sewa Naik hingga Sulit Urus Akta Kelahiran

Keluh Kesah Warga Rusun Muara Baru, Mulai dari Biaya Sewa Naik hingga Sulit Urus Akta Kelahiran

Megapolitan
Nasib Malang Anggota TNI di Cilangkap, Tewas Tersambar Petir Saat Berteduh di Bawah Pohon

Nasib Malang Anggota TNI di Cilangkap, Tewas Tersambar Petir Saat Berteduh di Bawah Pohon

Megapolitan
Bursa Cagub DKI Jakarta Kian Ramai, Setelah Ridwan Kamil dan Syahroni, Kini Muncul Ahok hingga Basuki Hadimuljono

Bursa Cagub DKI Jakarta Kian Ramai, Setelah Ridwan Kamil dan Syahroni, Kini Muncul Ahok hingga Basuki Hadimuljono

Megapolitan
NIK Ratusan Warga di Kelurahan Pasar Manggis Dinonaktifkan karena Tak Sesuai Domisili

NIK Ratusan Warga di Kelurahan Pasar Manggis Dinonaktifkan karena Tak Sesuai Domisili

Megapolitan
Pendeta Gilbert Lumoindong Kembali Dilaporkan atas Dugaan Penistaan Agama

Pendeta Gilbert Lumoindong Kembali Dilaporkan atas Dugaan Penistaan Agama

Megapolitan
Pengendara Moge Tewas Terlindas Truk Trailer di Plumpang Jakut

Pengendara Moge Tewas Terlindas Truk Trailer di Plumpang Jakut

Megapolitan
Prakiraan Cuaca Jakarta Hari Ini Jumat 26 April 2024, dan Besok: Siang ini Hujan Ringan

Prakiraan Cuaca Jakarta Hari Ini Jumat 26 April 2024, dan Besok: Siang ini Hujan Ringan

Megapolitan
Gardu Listrik di Halaman Rumah Kos Setiabudi Terbakar, Penghuni Sempat Panik

Gardu Listrik di Halaman Rumah Kos Setiabudi Terbakar, Penghuni Sempat Panik

Megapolitan
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com