Oleh: IRENE SARWINDANINGRUM & AMANDA PUTRI NUGRAHANTI
Haji Amirullah Ayub (76) terlihat penuh semangat mengisahkan semaraknya kehidupan Karet Tengsin di masa kecilnya dulu. Dari kawasan pertanian milik seorang saudagar dermawan bernama Tan Tjeng Sien hingga sepatu Kwet-kwet dari kulit ular dan kodok batu yang pernah terkenal hingga seluruh pelosok Jakarta.
Kelurahan Karet Tengsin di Jakarta Pusat sekarang adalah sebuah kawasan perkampungan dan permukiman padat di kawasan hilir Kali Krukut. Kecuali kuburan Karet Bivak, jejak-jejak sejarah Karet Tengsin kini telah tertelan pertumbuhan dan perubahan tata ruang di pusat Jakarta itu.
"Sekitar tahun 1950-an, semua anak-anak dan remaja di sini tak ada yang tidak kerja. Hampir semuanya pada kerja di usaha kulit buat isi waktu sepulang sekolah. Saya juga dulu habis sekolah sering kerja di rumah tetangga yang punya usaha kulit. Atau mandiin kuda tetangga di pulau kecil di tengah Kali Krukut itu," ujarnya, di rumahnya yang atapnya masih dihiasi lisplang berornamen gigi balang khas rumah adat Betawi di Karet Tengsin, Selasa (13/9).
Haji Amirullah Ayub, yang akrab disapa Haji Yoyok, lahir dan tinggal di Karet Tengsin hingga sekarang sudah mempunyai beberapa cucu. Saat agresi militer Belanda akhir 1940-an, ia bersama ayahnya dan hampir seluruh warga di Karet Tengsin turut mengungsi ke belakang garis depan pertempuran di kawasan Rangkasbitung.
Mereka baru kembali ke Karet Tengsin sekitar tahun 1950. Sejak 1970-an, Yoyok menjadi pegawai kelurahan. Kini, di masa pensiunnya, ia masih dipercaya menjadi Kepala Kampung Karet Tengsin.
Yoyok menceritakan, di masa kecilnya dulu, selain usaha kulit, Karet Tengsin juga pusat usaha rumahan batik. Usaha kulit dimiliki para warga pribumi, sedangkan usaha batik dimiliki warga keturunan Tionghoa. Keduanya menyerap tenaga kerja yang menggerakkan perekonomian warga Karet Tengsin dan sekitarnya.
Usaha kulit di kawasan itu menghasilkan sepatu, tas, sabuk, dan aksesori lainnya. Bahannya dari kulit ular, buaya, kodok batu, hingga biawak. Bahan kulit itu didatangkan dari banyak daerah di Nusantara.
Sepatu kulit dari Karet Tengsin begitu terkenal ke seluruh pelosok Jakarta dan dianggap barang mewah karena harga dan kualitasnya yang tinggi. Daerah pemasaran utamanya, kata Yoyok, adalah kawasan Menteng, yang merupakan kawasan elite Jakarta sejak dulu.
"Sepatu kulit Karet Tengsin dulu terkenal namanya sepatu Kwet-kwet karena bunyinya kwet-kwet' begitu kalau dipakai jalan. Dulu, kalau sudah pakai sepatu Kwet-kwet, wah ini nih, ada orang kaya, nih," katanya.
Bunyi kwet-kwet itu berasal dari mancung atau pembungkus bunga pohon kelapa yang dimasukkan ke dalam sepatu. "Kerajinan kulit Tengsin lama-lama kalah dengan produk luar negeri yang lebih murah. Sejak 1985 sudah tak ada lagi," kata Yoyok lagi.
Berdasarkan catatan Kompas, pada 1979 usaha rumahan kulit di Karet Tengsin menyerap bahan baku kulit 25 ekor buaya dan 4.000 ular per bulannya. Pemilik usahanya saat itu lebih dari 30 orang.
Adapun usaha rumahan batik hilang dari Karet Tengsin pada 1978. Ini disebabkan kebijakan gubernur DKI Jakarta saat itu, Ali Sadikin, yang melakukan relokasi industri dari pusat Jakarta ke kawasan pinggiran. Alasanya untuk mengurangi pencemaran dari limbah industri.
Semasa masih ada, industri batik itu sempat membuat aliran Kali Krukut yang masuk ke Kali Ciliwung berwarna merah dan biru karena limbahnya. Oleh pemerintah, usaha-usaha ini diberi tempat penampungan di Pulogadung yang disebut Jakarta Industrial Estate Pulo Gadung.
Kini masih ada jejak-jejak pabrik batik di kawasan permukiman di Jalan Karet Pasar Baru. Beberapa rumah pembuatan batik ini masih bertahan dengan bangunan aslinya, bangunan tua yang ditutup dengan tembok-tembok tinggi.