Di dalam senyap, kekerasan pada anak masih terus terjadi. Ia seperti gunung es yang tidak tampak besar di permukaan. Tiba-tiba saja orang terkaget-kaget ketika seorang anak di dekatnya meninggal dunia tidak wajar karena mengalami kekerasan. Tetapi, semuanya sudah terlambat.
Adnan Al Ghazali (2 tahun 10 bulan), Selasa (15/11), mengembuskan napas terakhir ketika dilarikan ke RSUD Tangerang Selatan. Badannya membiru penuh lebam hasil pukulan bertubi-tubi dan disekap dalam lemari oleh Wah (33), kekasih ibunya. Sang ibu, DW (30), yang ada di lokasi kejadian, tidak mencegahnya. Ia disebut ikut membuka pintu lemari dan mengunci buah hatinya di dalam lemari.
Yati (39), kakak Wah, mengatakan, adiknya akan menikah dengan DW pada akhir November ini.
"Kami semua terkejut, ujar Yati. Mungkin, lanjutnya, adiknya khilaf karena saking cintanya kepada DW . Kalau dari pengakuan adik saya, (DW) sering cerita kalau anaknya nakal. Waktu itu dia bilang mau 'kasih pelajaran' ke anaknya, gitu," ujar Yati yang tinggal di Kelurahan Jurangmangu Timur, Pondok Aren, Tangerang Selatan.
Mungkin, kata Yati, pasangan itu tidak mengira akibat fatal tindakan mereka. "Katanya anak itu sering dicubiti ibunya. Ibunya membenci ayah Adnan yang pergi meninggalkannya sehingga anaknya yang dijadikan pelampiasan," tuturnya.
Hal serupa dialami balita Sania (3) yang tinggal bersama ayah dan ibu tirinya di rumah kontrakan di Pondok Pucung, Karang Tengah, Kota Tangerang, pada 5 November. Para tetangganya tidak mengetahui apa yang terjadi di dalam kontrakan itu meski sering mendengar Sania menangis setiap hari. Mereka tidak enak ikut campur jika bertanya atau mengingatkan.
Kisah tragis juga menimpa Dafa (5) yang tinggal bersama ayah dan ibu tirinya di Larangan, Kota Tangerang. Kekerasan mengintai anak-anak di mana pun, termasuk di lingkungan keluarga, yang seharusnya tempat paling aman bagi anak.
Peduli kepada semua anak
Kepala Kepolisian Resor Kota Tangsel Ajun Komisaris Besar Ayi Supardan menyesalkan kasus yang menimpa Adnan. "Orang dewasa harus lebih peduli pada keselamatan anak-anak, bukan hanya anaknya sendiri, melainkan juga semua anak yang ada di lingkungan kita. Jangan sampai terlambat," ujarnya.
Kepala Pusat Pelayanan Terpadu Perlindungan Perempuan dan Anak (P2TP2A) Kota Tangsel Herlina Mustika Sari mengatakan, kekerasan pada anak kerap tidak terdeteksi hingga anak yang menjadi korban meninggal dunia. Sepanjang 2016 telah terjadi 168 kasus kekerasan pada anak dan perempuan di Tangsel. Korban anak-anak mencapai 70 persen, baik kekerasan fisik maupun seksual. Pelaku kebanyakan orang terdekat.
"Masih banyak orang dewasa yang tidak memahami bagaimana seharusnya memperlakukan anak-anak. Banyak orangtua merasa kekerasan adalah salah satu cara untuk mendidik anak yang dianggap nakal. Banyak yang belum memahami cara mendidik anak yang baik tanpa kekerasan," paparnya.
Meski demikian, saat ini mulai banyak orang menyadari bahaya kekerasan sehingga mulai banyak yang melaporkan jika terjadi kasus kekerasan di sekitarnya. Warga diimbau mendeteksi lebih dini kasus kekerasan di lingkungan sekitarnya.
"Jika tidak berani menegur langsung, warga bisa melapor ke P2TP2A, dan tim investigasi kami akan mengecek ke lokasi. Identitas pelapor akan kami rahasiakan. Pelaporan dini ini penting untuk mencegah sebelum anak akhirnya tidak tertolong," ungkap Herlina.
(Amanda Putri Nugrahanti)
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 18 November 2016, di halaman 28 dengan judul "Deteksi Kekerasan sejak Dini, Jangan Terlambat".
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.