JAKARTA, KOMPAS.com - Pihak kepolisian tengah menunggu Kejaksaan Tinggi Jawa Barat menyatakan berkas Buni Yani dalam kasus UU ITE lengkap. Berkas ini sudah tiga kali dilimpahkan polisi ke Jaksa namun tak kunjung siap disidangkan.
"Sudah dilimpahkan ke Kejati Jabar. Sudah beberapa hari yang lalu. Kita tunggu kelanjutannya," kata Direktur Reserse Kriminal Khusus Polda Metro Jaya Kombes Wahyu Hadiningrat, Kamis (9/3/2017).
Terkait lamanya proses hukum Buni Yani, Komisioner Sub Komisi Pemantauan dan Penyelidikan Komnas HAM Hafid Abbas mengaku tidak akan mengintervensi proses hukum yang tengah berlangsung atas kasus Buni Yani.
Beberapa waktu lalu, Buni Yani mengadukan kasusnya ke Komnas HAM dan Ombudsman RI. Hafid menggarisbawahi kaitan antara kasus Buni dengan Basuki Tjahaja Purnama atau Ahok yang dijerat dengan penodaan agama.
Hafid mencatat sejumlah kasus serupa di masa lalu yang berjalan cepat tanpa berlarut-larut. Pertama adalah kasus Arswendo Atmowiloto yang mempublikasikan hasil surveinya di Tabloid Monitor pada 15 Oktober 1990.
Hasil survei itu menempatkan antara lain Presiden Soeharto di urutan pertama tokoh yang paling diidolakan masyarakat Indonesia, sedangkan Nabi Muhammad ada di urutan kesebelas.
Setelah polling terbit pada awal Oktober, terjadi protes yang besar, sehingga pada 22 Oktober 1990 kantor Arswendo didemo massa, Hanya lima hari kemudian, pada 27 Oktober 1990, Arswendo ditahan polisi.
Tidak berapa lama kemudian seluruh proses kasusnya diselesaikan oleh Kejaksaan dan Pengadilan dan Arswendo akhirnya menjalani hukumannya di LP Cipinang dan ia bebas pada 27 Desember 1995.
"Apabila kasus Arswendo dapat ditangani dan diselesaikan oleh aparat penegak hukum dengan cepat dan tuntas, mengapa kasus lain terkesan berlarut-larut," kata Hafid dalam keterangan tertulisnya, Kamis.
Kedua adalah kasus Permadi yang juga terkait dengan penodaan agama pada pertengahan 1994. Kasusnya berawal ketika Permadi menjadi pembicara dalam Panel Forum Lembaga Kepresidenan di kampus Universitas Gadjah Mada Yogyakarta, 28 April 1994.
Dalam forum itu, Permadi antara lain menyebutkan, kekuasaan besar akan mengubah seseorang menjadi diktator.
"Soekarno diktator, Soeharto diktator dan juga Nabi Muhammad adalah diktator," kata Permadi waktu itu.
Atas pernyataan itu, Permadi dinilai menghina Islam. Ia kemudian ditangkap dan ditahan dan diproses secara hukum dan akhirnya divonis untuk menjalani hukuman kurungan selama tujuh bulan di LP Yogyakarta.
"Semua proses hukum atas kasus Permadi berjalan lancar, cepat, tanpa ada kendala-kendala yang berarti," ujar Hafid.
Ia pun mencatat, kasus-kasus penistaan agama lainnya yang terjadi di Tanah Air dalam beberapa dekade terakhir kelihatannya cukup banyak dan amat beragam. Namun secara keseluruhan dapat diselesaikan dengan cepat dan tuntas oleh aparat penegak hukum.
"Masyarakat luas dapat menerima keputusan final dari seluruh proses hukum itu karena dinilai memenuhi rasa keadilan," ujar Hafid.
Hafid menyebut jika kasus Buni Yani dan Ahok dibiarkan berlarut-larut, maka akan merugikan citra negeri di mata dunia yang dapat berpengaruh terhadap aspek ekonomi, sosial, dan politik. Ia berharap berbagai pengalaman dan yurisprudensi kasus serupa dapat dijadikan telaah komparatif untuk mempercepat proses penyelesaian.
"Komnas HAM berharap kasus ini dapat diselesaikan dengan cepat, tuntas dan terbebas dari segala bentuk intervensi dan diskriminasi sesuai dengan prinsip-prinsip supremasi hukum dan asas kesamaan di hadapan hukum," ujarnya.