Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Kompas.com - 22/03/2017, 11:31 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini
EditorJodhi Yudono

aku percaya,
kamu tak kan pernah mati
meski tubuhmu dilanda lara, dilanda lara
yang menjadikamulah itu,
jiwa yang merdeka
pantang menyerah dihadang badai,
diterjang badai kehidupan

aku berguru padamu, lelaki yang teguh
setia slalu pada sikap dan perbuatan
kamu adalah cahaya itu
sinari jalanan kota ini

kamu adalah mata air
sirami jiwa-jiwa yang sunyi... sepi
(Lelaki yang Teguh, syair dan lagu Jodhi Yudono)

Lagu dan syair di atas saya buat pada awal tahun 2008, saat saya mendapatkan persetujuan dari Mas Teguh Esha untuk menghibur beliau yang kala itu baru keluar dari RS Fatmawati setelah menjalani perawatan karena sakit diabetes mulanya, tapi kemudian merambah ke organ lainnya, di antaranya hyper thyroid.

Melalui syair lagu di atas, saya hanya ingin mengatakan kepada Teguh, bahwa seniman semacam dirinya tidak akan pernah mati, bahkan jika pun maut menjemputnya kelak. Sebab karya-karyanya akan terus dikenang orang sepanjang masa.

Syair lagu di atas juga isyarat kekaguman saya kepadanya. Ya ya, dalam ketidakberdayaannya lantaran sakit fisik dan psikis, Teguh tetap tegar. Dia tetap menjadi cahaya yang memberi terang kepada kawan-kawannya yang redup semangat hidupnya. Di lain sisi, Teguh adalah juga mata air yang darinya meruah kasih sayang untuk anak-anak jalanan dan kawan-kawan seniman, khususnya di kawasan Bulungan.

Ketegaran itu bukan saja saat dirinya ditonjok oleh nasib yang kurang baik. Sejarah juga mencatat, betapa Teguh tak goyah atas keyakinan yang dipeluknya meski harus berhadapan dengan pengadilan.Saya sungguh bersyukur dan berterimakasih karena Mas Teguh memberi kesempatan kepada saya, Irul (pemain biola), dan Yoga (putera saya), untuk beribadah melalui musik dengan menghibur beliau.

Beberapa tahun setelahnya, kesehatan Teguh juga pasang surut. Akhir tahun lalu gula darah Teguh naik hingga 600. Tak lama kemudian dia masuk rumah sakit. Sebelum masuk rumah sakit, saya sempat menjenguknya sekedar menghibur beliau dengan memberinya semangat.

Tradisi menghibur kawan-kawan yang sedang sakit ini adalah komitmen saya dengan diri saya sendiri untuk berbagi kebaikan  melalui musik, dengan cara mendatangi kawan-kawan yang sedang sakit dan berdialog dengan mereka melalui  musik dan lagu.Akhirnya kami pun sepakat menentukan tanggal untuk acara yang saya beri judul "Konser untuk Teguh Esha".

Pada sebuah Minggu sore di bulan Januari, itu pun saya datang bertiga ke rumah Teguh Esha. Di sana sudah ada Teguh Esha sekeluarga, serta kawan-kawan yang sengaja kami undang untuk menyemangati Mas Teguh. Dua kawan saya, Nelden Dalisay Djakababa dan Benny N Juwono juga turut serta dalam penghiburan itu.

Mendapati Teguh Esha dalam kondisi sakit kala itu, sungguh bukan pemandangan yang menyenangkan. Tubuhnya kurus kering dengan bola mata yang membesar. Sambil menahan kesedihan, saya pun memulai acara dengan menyanyikan lagu-lagu karya saya sendiri dengan diselingi cerita dan guyonan. Interaksi antara saya dengan Teguh Esha serta yang hadir sungguh membuat senja di bulan Januari itu terasa indah.

Ada alasan kenapa saya dengan senang hati menghibur Teguh Esha. Pertama, tentu saja alasan memenuhi komitmen untuk "berbagi melalui musik". Kedua, karena sejak remaja saya memang telah mengagumi penulis novel "Ali Topan" ini. Sebuah novel yang sedikit banyak telah memberi warna bagi perjalanan hidup saya, sehingga saya kini jadi wartawan.Sedemikian kagumnya saya kepada Ali Topan dan penulisnya, sehingga saya nyaris mengenal sosok keduanya secara rinci, baik dari orang lain maupun dari Teguh Esha sendiri.

Ya, ya... Teguh Esha dan Ali Topan adalah dua sosok yang tak terpisahkan. Cerita "Ali Topan Anak Jalanan" yang melegenda pada tahun 1972 ditulis oleh Teguh Esha pertama kali dalam bentuk cerita bersambung pada majalah STOP, dan pada tahun 1977 novel ini dibukukan. Kemudian, Cerita Ali Topan difilmkan dua kali 1972 dan 1978, dan diproduksi dalam bentuk Sinetron Serial yang ditayangkan SCTV pada tahun 1995. Ali Topan adalah seorang anak jalanan yang cerdas, punya prinsip, berani dan punya solidaritas tinggi pada sesama.

Cuma sayang, bayangan saya atas sosok Ali Topan justru rusak ketika dilayar-lebarkan dan disinetronkan.  Boleh jadi, lantaran para pemerannya tidak mewakili benar karakter Ali Topan. Atau, bisa jadi juga karena imajinasi itu memang lebih luas cakrawalanya ketimbang penglihatan mata. Entahlah.

Saya juga tahu, selain Ali Topan, hampir semua cerita novel Teguh Esha berkisah tentang wartawan. Seperti  "Penembak Bintang" dan "Dewi Besser". Sebuah pilihan yang tepat saya kira, lantaran dengan demikian Teguh  cukup mengeksplor semua hal di sekitar kehidupannya sendiri sebagai seorang wartawan.

Halaman Berikutnya
Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

[POPULER JABODETABEK] Warga yang 'Numpang' KTP Jakarta Protes NIK-nya Dinonaktifkan | Polisi Sita Senpi dan Alat Seks dari Pria yang Cekoki Remaja hingga Tewas

[POPULER JABODETABEK] Warga yang "Numpang" KTP Jakarta Protes NIK-nya Dinonaktifkan | Polisi Sita Senpi dan Alat Seks dari Pria yang Cekoki Remaja hingga Tewas

Megapolitan
Harga Bawang Merah Melonjak, Pemprov DKI Bakal Gelar Pangan Murah

Harga Bawang Merah Melonjak, Pemprov DKI Bakal Gelar Pangan Murah

Megapolitan
Pemprov DKI Diminta Lindungi Pengusaha Warung Madura Terkait Adanya Permintaan Pembatasan Jam Operasional

Pemprov DKI Diminta Lindungi Pengusaha Warung Madura Terkait Adanya Permintaan Pembatasan Jam Operasional

Megapolitan
Kronologi Brigadir RAT Bunuh Diri Pakai Pistol di Dalam Alphard

Kronologi Brigadir RAT Bunuh Diri Pakai Pistol di Dalam Alphard

Megapolitan
Polisi Pastikan Kasus Dugaan Pemerasan Firli Bahuri Masih Terus Berjalan

Polisi Pastikan Kasus Dugaan Pemerasan Firli Bahuri Masih Terus Berjalan

Megapolitan
Brigadir RAT Diduga Pakai Pistol HS-9 untuk Akhiri Hidupnya di Dalam Mobil

Brigadir RAT Diduga Pakai Pistol HS-9 untuk Akhiri Hidupnya di Dalam Mobil

Megapolitan
Korban: Guling yang Dicuri Maling Peninggalan Almarhum Ayah Saya

Korban: Guling yang Dicuri Maling Peninggalan Almarhum Ayah Saya

Megapolitan
Guling yang Dicuri Maling di Cinere Usianya Sudah Belasan Tahun

Guling yang Dicuri Maling di Cinere Usianya Sudah Belasan Tahun

Megapolitan
Khawatir Rumahnya Diambil Pemerintah, Banyak Warga Tanah Tinggi Tak Ikut Program 'Bebenah Kampung'

Khawatir Rumahnya Diambil Pemerintah, Banyak Warga Tanah Tinggi Tak Ikut Program "Bebenah Kampung"

Megapolitan
Anggota Polresta Manado Tembak Kepalanya Pakai Senpi, Peluru Tembus dari Pelipis Kanan ke Kiri

Anggota Polresta Manado Tembak Kepalanya Pakai Senpi, Peluru Tembus dari Pelipis Kanan ke Kiri

Megapolitan
Maling Guling Beraksi di Cinere, Korban: Lucu, Kenapa Enggak Sekalian Kasurnya!

Maling Guling Beraksi di Cinere, Korban: Lucu, Kenapa Enggak Sekalian Kasurnya!

Megapolitan
Kronologi Pengendara Moge Tewas Terlindas Truk Trailer di Plumpang

Kronologi Pengendara Moge Tewas Terlindas Truk Trailer di Plumpang

Megapolitan
Mayat Bayi di Tanah Abang, Diduga Dibuang Ayah Kandungnya

Mayat Bayi di Tanah Abang, Diduga Dibuang Ayah Kandungnya

Megapolitan
2 Pria Rampok Taksi 'Online' di Kembangan untuk Bayar Pinjol

2 Pria Rampok Taksi "Online" di Kembangan untuk Bayar Pinjol

Megapolitan
Heru Budi: Jakarta Bisa Benahi Tata Kota jika Pemerintahan Pindah ke IKN

Heru Budi: Jakarta Bisa Benahi Tata Kota jika Pemerintahan Pindah ke IKN

Megapolitan
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com