Oleh: Dian Dewi Purnamasari
Azan maghrib sebentar lagi berkumandang. Karpet hijau bergambar masjid digelar di teras Masjid Jami Al-Makmur, Cikini, Jakarta Pusat, Kamis (1/6/2017). Beberapa pria menata sajian untuk berbuka puasa bersama. Syahdu selawat Nabi Muhammad SAW terdengar dari pengeras suara masjid.
"Ini semua sumbangan dari warga. Ada yang membawa lontong, es buah, pastel, dan ada sumbangan permen dari sponsor. Ini untuk mereka yang berbuka puasa dan shalat Maghrib di sini," ujar Isa (57), warga dan jemaah masjid itu.
Pada saat Ramadhan, masjid yang diperkirakan sudah ada sejak 1860 itu ramai. Ada yang sekadar mampir untuk menunggu berbuka puasa atau shalat berjemaah. Namun, untuk warga sekitar di Jalan Raden Saleh, masjid untuk beribadah mulai dari menjelang maghrib, tarawih, hingga sahur. Warga sekitar melaksanakan shalat berjemaah, tadarus, dan iktikaf di masjid.
"Kami juga menyediakan takjil untuk mereka yang kebetulan melintas di Jalan Raden Saleh ini. Pengunjung atau pembesuk di Rumah Sakit Persekutuan Gereja Indonesia (PGI) juga kerap beribadah di sini," ucap Syahlani (69), Ketua Pengurus Masjid Jami Al-Makmur.
Masjid Jami Al-Makmur terletak di lokasi strategis di kawasan Cikini. Bangunan bercat dominan putih dan hijau itu kini berdiri di Jalan Raden Saleh Raya Nomor 30, Cikini, Menteng, Jakarta Pusat. Lokasinya di samping aliran Ciliwung di pinggir jembatan Raden Saleh.
Namun, Syahlani mengatakan, sebelum dipindah ke lokasi saat ini, masjid itu sebelumnya berada di dalam kompleks rumah Raden Saleh. Lokasinya 80-100 meter dari tempat berdirinya masjid saat ini. Lokasi lama sekarang menjadi asrama RS PGI Cikini. Antara lokasi lama dan lokasi baru dipisahkan pagar pembatas.
Abdul Baqir Zein dalam buku Masjid Masjid Bersejarah di Indonesia (Gema Insani, 1999) menuliskan, dahulu, Masjid Jami Al-Makmur berdiri di atas tanah kosong milik Raden Saleh Syarif Bustaman atau maestro pelukis Raden Saleh. Sebelum hijrah dan menikah dengan istrinya di Bogor, Raden Saleh mewakafkan sebagian tanahnya untuk didirikan masjid. Masjid sangat sederhana. Dindingnya dari bambu (gedek), berukuran kecil seperti rumah panggung.
"Dari cerita turun-temurun warga Cikini Binatu (Jalan Raden Saleh), saat masjid dipindahkan ke lokasi sekarang, warga beramai-ramai menggotong bangunan itu," ujar Syahlani.
Setelah hijrah ke Bogor, Raden Saleh menjual seluruh tanah miliknya, termasuk bangunan masjid, kepada tuan tanah keturunan Arab, keluarga Alatas. Lalu, kawasan itu disebut Alatas Land. Di tangan keluarga Alatas, tanah kembali dijual kepada Yayasan Ratu Emma, yayasan misionaris Kristen milik orang Belanda yang bergerak di pelayanan sosial, dan rumah sakit.
Masjid Cikini lalu dipindahkan beberapa meter dari tempat asalnya dengan cara memanggulnya secara bergotong royong. Sempat ada permintaan dari yayasan agar masjid direlokasi agak lebih jauh dari tempatnya kini. Namun, berkat campur tangan tokoh-tokoh Islam, seperti HOS Cokroaminoto, Haji Agus Salim, dan Abikusno Cokrosuyoso, masjid Cikini pun tetap berada di tempatnya.
Agus Salim memasang lambang bulan sabit dan bintang agar Belanda tidak berani mengganggu. Lambang itu kini masih ada di bagian depan masjid.
Cagar budaya
Tahun 1993, Gubernur DKI Jakarta Wiyogo Atmodarminto menetapkan Masjid Jami Al-Makmur sebagai benda cagar budaya. Kini, masjid tidak hanya menjadi rumah ibadah, tetapi juga memiliki sekolah dan madrasah yang berada satu kompleks dengan masjid. Madrasah menerima siswa setingkat SD, SMP, dan SMA dan memberikan pelajaran di antaranya Al Quran, Hadis, Inadah Syari'ah, Fikih, Akidah, Akhlak, Sejarah Kebudayaan Islam, serta Bahasa Arab.
Syahlani menuturkan, saat dipindahkan ke lokasi sekarang, jemaah masjid lebih mudah mengambil air wudu karena lokasinya berdekatan dengan Sungai Ciliwung. Saat Syahlani masih kecil, air sungai masih sangat bersih hingga lapisan pasir di bawahnya terlihat. Orang-orang berwudu di sungai, lalu naik ke masjid melalui tangga berundak.