Festival Gang awalnya diawali ide sederhana, sekelompok seniman dan pekerja kreatif, pelukis dan disainer, serta fotographer di komunitas Urban Space ingin menularkan optimisme hidup pada warga sekitar.
Terlebih warga yang kurang mampu, bersama membangun harap lewat seni. Workshop demi workshop digelar, pertemuan-demi pertemuan direncanakan dengan pemuda karang taruna setempat serta ketua RT.
Mereka memusatkan perhatian, bagaimana seharusnya mendidik dalam waktu sama terdidik diri sendiri sebagai manusia? Tak ada metode yang ketat, guru dan murid setara, berani melapangkan dadanya, mengasah daya nalar dan memahami kepekaan intuisi dari lingkungan sekitar.
Mereka pun membebaskan kreativitas yang dipilih paling sederhana dengan merangkai daun janur untuk membuat ketupat atau mempertanyakan kembali, kenapa harus membuat “rajah” ala Henna untuk mengindahkan tangan-tangan mungil anak-anak yang sudah indah itu?
Untuk apa sebenarnya berkesenian itu? Melepaskan lara dalam keseharian atau membagi beban agar tetap tertahan?
Baca juga: Bekas Lokalisasi Dolly Kini Dipenuhi Lukisan Mural
Satu demi satu kantung-kantung komunitas seni dari daerah lain terketuk dan tertarik bergabung sejak 2011. Tatkala festival gang pertama digelar, seniman-seniman street art pun menyambangi, sampai sanggar-sanggar kesenian lokal, tradisi budaya Betawi digeber untuk memeriahkan panggung pertunjukan yang dihelat pada bulan Agustus.
Fendi Siregar, seorang fotografer senior dan pengajar di Istitut Kesenian Jakarta (IKJ) sampai perlu dua kali hadir, merekam perayaan ke-2 Festival Gang abdul Jabar unik ini pada 19 Agustus 2017 lalu.
Disusul dua orang penyair Amien Kamil dan Sihar Ramses Simatupang, seniman street art dari Jogjakarta Media Legal, komunitas lain seperti Jakarta Art Movement (JAM), Wedha Pop Art Portrait (WPAP), komunitas Taring Babi, serta seorang DJ muda, Willy Winarko yang sekaligus Youtuber menyumbangkan talenta-talentanya.
Foto lainnya, Fendi menyukai kondisi kekontrasan lukisan mural gajah-gajah, simbol sang kuat dan dihadapkan pada seorang pemulung yang melintas di depan mural. Apakah ia ingin mengutarakan kesenjangan yang terjadi? Bisa jadi.
Kegembiraan kecil di Gang Abdul Jabar mungkin tak begitu penting, ditekan gemuruhnya kota jumawa seperti Jakarta dengan seluruh masalah lebih besar lainnya. Namun, ia adalah wajah kita bersama yang tiap hari ditoreh kegundahan-kegundahan di kota yang sama.
Sekali tiap tahun, mereka semua, orang-orang sederhana itu membasuhnya dengan kegembiraan-kegembiraan kecil. Kemudian menyeringai dan tertawa-tawa bersama di bulan sakral bagi Kemerdekaan bangsa Indonesia.
Sajak penyair Sihar Ramses Simatupang malam itu di panggung bergetar dibacakan. Mengalirkan energi empati untuk tetap terus berharap:
aku pergi seperti seribu pesakitan,
yang membawa bertumpuk
amanat nenek moyang.
angkat tilammu,
pakailah kasutmu.
tarikkan nafasmu,
hentakkan tenagamu.
berangkatlah dengan seribu zirah
setumpuk pustaka
sekibar bendera
di tangan tercancang.
Indonesia:
adalah nafas kita.