JAKARTA, KOMPAS.com - Tahun lalu, Mahesh Lalmalani bersama 6 orang pemilik lahan di Jalan Fatmawati menggugat Pemerintah Provinsi (Pemprov) DKI ke Pengadilan Negeri Jakarta Selatan.
Gugatan mereka terkait pembebasan lahan untuk proyek Mass Rapid Transit (MRT). Para pemilik usaha itu menuntut agar pemerintah menghargai tanah mereka senilai Rp 150 juta per meter. Rinciannya, Rp 100 juta untuk kerugian immateriil dan Rp 50 juta untuk nilai tanah.
Harga tersebut dipertimbangkan oleh Mahesh kawan-kawan, mengingat kawasan itu adalah tempat usaha. Selain itu, usaha mereka juga merugi sejak ada konstruksi proyek MRT. Omzet menurun dan banyak toko yang akhirnya tutup.
Menanggapi gugatan Mahesh saat itu, Kepala Bagian Penataan Kota dan Lingkungan Hidup Jakarta Selatan Bambang Eko Prabowo menjelaskan, proses pembebasan lahan berada di BPN. BPN sudah menyerahkan data nominatif atau data berisi bidang mana saja yang harus dibebaskan ke kelurahan.
Bambang memastikan tidak ada tanah yang bernilai di atas Rp 100 juta per meter. Pemprov DKI saat itu menghargai sekitar Rp 33 juta per meter.
"Untuk data bidang memang masih berjalan. Harga yang akan dibayarkan sendiri itu bukan dari kami (pemerintah). Tapi appraisal dari akuntan publik. Jadi sejatinya tidak ada yang namanya tawar-menawar atau negosiasi," kata Bambang.
Baca juga : Keluhan Warga yang Usahanya Sepi Sejak Ada Proyek MRT
Untuk proyek MRT ini, pemerintah menggunakan sistem pinjam pakai. Para pemilik bidang akan dibongkar dan dimanfaatkan lahannya, baru dibayarkan kemudian. Sementara bagi yang menolak, akan dibebaskan dengan konsinyasi, yaitu menitipkan uang ke pengadilan.
"Konsinyasi lewat pengadilan kalau dia tidak mau. Harganya ya appraisal dari akuntan, itu yang akan dititipkan di pengadilan, terserah dia setuju atau tidak, kami tetap bongkar lahannya," kata Bambang.
Persidangan pun terus bergulir. Sampai akhirnya, Pengadilan Negeri Jakarta Selatan mengabulkan sebagian permohonan Mahesh dan kawan-kawan dengan mewajibkan pemerintah membayar Rp 60 juta per meter.
Namun, terkait putusan tersebut, Pemprov DKI kemudian mengajukan kasasi ke Mahkamah Agung karena menilai Rp 60 juta per meter terlalu tinggi.
Gugat Rp 1 miliar
Tak selesai sampai di situ, Mahesh kembali mendaftarkan gugatan baru untuk melawan Kantor Jasa Penilai Publik dan Badan Pertanahan Negara (BPN) Jakarta Selatan selaku Panitia Pengadaan Tanah (P2T) proyek MRT.
Pemilik toko karpet, Serba Indah itu menggugat soal appraisal atau penilaian terhadap tanah yang terkena dampak proyek MRT.
"Saya gugat Rp 1 kalau mereka terbukti salah," kata Mahesh, saat ditemui di Jalan Fatmawati, Jakarta Selatan, Kamis (6/7/2017).
Baca juga : Demi Kepuasan Batin, Seorang Warga Gugat Proyek MRT Rp 1
Menurut Mahesh, appraisal atau penilaian oleh konsultan yang dijadikan patokan pembebasan lahan, tidak sesuai dengan pasal 34 ayat (3) UU Nomor 2 tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah bagi Pembangunan Umum.
Segera lengkapi data dirimu untuk ikutan program #JernihBerkomentar.