JAKARTA, KOMPAS.com — Reklamasi teluk Jakarta di pesisir pantai utara Jakarta telah dilakukan sejak era pemerintahan Presiden Soeharto. Keputusan reklamasi teluk Jakarta tertuang pada Keputusan Presiden Presiden Nomor 52 Tahun 1995 tentang Reklamasi Pantai Utara Jakarta dan Perda Nomor 8 Tahun 1995.
Keppres Nomor 52 Tahun 1995 Pasal 1 Ayat (1) menyebutkan, Reklamasi Pantai Utara Jakarta, selanjutnya disebut Reklamasi Pantura, adalah kegiatan penimbunan dan pengeringan laut di bagian perairan laut Jakarta.
Tanggung jawab reklamasi dibebankan kepada kepala daerah, yakni gubernur DKI Jakarta. Saat itu, tujuan reklamasi teluk Jakarta adalah untuk mengembangkan kawasan pantura.
Kendati demikian, keputusan pembangunan pulau reklamasi ditentang Kementerian Lingkungan Hidup. Catatan Kementerian Lingkungan Hidup yang dikutip dari situs webresmi kementerian, diterbitkan Surat Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup tanggal 19 Februari 2003 Nomor 14 Tahun 2003 tentang Ketidaklayakan Rencana Kegiatan Reklamasi dan Revitalisasi Pantai Utara Jakarta.
Baca juga: Jakpro Ajukan Tambahan Modal Jadi Rp 40 Triliun untuk Bangun Stadion hingga Kelola Pulau Reklamasi
Keputusan itu diambil berdasarkan hasil studi analisis mengenai dampak lingkungan hidup (amdal) terhadap rencana Reklamasi Pantura Jakarta. Amdal adalah suatu kajian mengenai dampak besar dan penting dari suatu usaha dan/atau kegiatan.
Hasil studi itu menunjukkan bahwa pembangunan reklamasi Teluk Jakarta akan menimbulkan berbagai dampak lingkungan, antara lain kontribusi terhadap intensitas dan luas genangan banjir di Jakarta, kerusakan ekosistem laut akibat pengambilan bahan urukan sebanyak 33 juta meter kubik yang saat ini belum jelas lokasi pengambilan dan transportasinya, dan gangguan terhadap operasional PLTU/PLTGU Muara Karang yang menyuplai kebutuhan listrik Jakarta, di antaranya kawasan Istana Negara, Jalan Jenderal Sudirman, Monas, dan Bandara Soekarno Hatta.
Walaupun ditentang sejumlah pihak, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dahulu akhirnya menyetujui dilanjutkannya pembangunan proyek reklamasi. Catatan Kompas.com tahun 2013, SBY mengeluarkan Peraturan Presiden Nomor 122 Tahun 2012 tentang Reklamasi di Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil yang ditandatangani pada 5 Desember 2012.
Saat itu, Gubernur DKI Jakarta Fauzi Bowo juga mengeluarkan Peraturan Gubernur Nomor 121 Tahun 2012 tentang Penataan Ruang Kawasan Reklamasi Pantura Jakarta pada September 2012 untuk mengembangkan 17 pulau buatan di Teluk Jakarta, sebulan sebelum ia lengser. Namun, keputusan itu tidak pernah lahir.
Salah satu anggota pansus saat itu, Bestari Barus, menilai, izin tersebut memang tidak bisa diterbitkan. Sebab, seorang kepala daerah tidak bisa menerbitkan izin yang berlaku jangka panjang jika masa jabatannya hanya tersisa enam bulan.
Selanjutnya, Basuki Tjahaja Purnama atau akrab disapa Ahok yang saat itu menjabat sebagai Wakil Gubernur DKI Jakarta mendampingi Gubernur Joko Widodo mengeluarkan izin pelaksanaan reklamasi untuk Pulau G (Pluit City).
Baca juga: Januari 2019, DKI Mulai Bahas Raperda soal Reklamasi
Keputusan itu dituangkan dalam Keputusan Gubernur Provinsi DKI Jakarta Nomor 2238 Tahun 2014 tertanggal 23 Desember 2014 tentang Pemberian Izin Pelaksanaan Reklamasi Pulau G kepada PT Muara Wisesa Samudra.
Dengan dikeluarkannya izin pelaksanaan reklamasi tersebut, PT Muara Wisesa Samudera, entitas anak PT Agung Podomoro Land Tbk, mulai dapat melaksanakan kegiatan reklamasi Pulau G (Pluit City).
Pluit City merupakan bagian dari pengembangan 17 pulau buatan. Selain PT Muara Wisesa Samudra, pengembang lainnya yang mendapat konsesi pengembangan lahan baru ini adalah PT Pelindo yang menggarap 1 pulau, PT Manggala Krida Yudha 1 pulau, PT Pembangunan Jaya Ancol 4 pulau, PT Jakarta Propertindo 2 pulau, PT Jaladri Kartika Ekapaksi 1 pulau, dan PT Kapuk Naga Indah 5 pulau. Sementara 2 pulau lainnya belum dilirik investor.
Izin pembangunan proyek pulau reklamasi di Teluk Jakarta akhirnya dihentikan saat era kepemimpinan Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan. Pencabutan izin pembangunan dilakukan pada 26 September 2018 berdasarkan hasil verifikasi Badan Koordinasi Pengelolaan Reklamasi Pantai Utara Jakarta yang dibentuk melalui Peraturan Gubernur Nomor 58 Tahun 2018 pada 4 Juni 2018.
Badan tersebut bekerja memverifikasi seluruh kegiatan reklamasi di Pantai Utara Jakarta, termasuk izin-izinnya. Hasil verifikasi menunjukkan, para pengembang yang mengantongi izin reklamasi tidak melaksanakan kewajiban mereka.