DEPOK, KOMPAS.com - Wali Kota Depok Muhammad Idris menanggapi penolakan DPRD Depok terkait usulan raperda Penyelenggaraan Kota Religius (PKR) yang rencananya mulai diterapkan pada tahun 2020.
Menurutnya, usulan raperda itu dilatarbelakangi tujuan pemkot untuk mewujudkan masyarakat Depok yang religius serta menjunjung tinggi norma agama, hukum, kesusilaan, dan kesopanan dalam beraktivitas sehari-hari.
"Pemkot perlu mendorong upaya masyarakat untuk senantiasa menyeru dan mengajak kepada kebaikan dan mencegah perbuatan tercela," kata Idris dalam keterangan tertulis, Minggu (19/5/2019).
Idris menepis anggapan jika raperda PKR tersebut dibuat untuk mengatur kehidupan pribadi masyarakat dalam beragama.
Baca juga: DPRD Tolak Raperda yang Atur Warga Depok Jalankan Agamanya
Sebaliknya, ia berharap penyusunan raperda PKR itu dapat menguatkan kehidupan sosial ataupun sosial politik masyarakat Depok dengan berlandaskan Pancasila sila pertama.
"Secara filosofis spirit penyusunan raperda ini adalah untuk menguatkan kehidupan sosial masyarakat yang sesuai dengan norma-norma dan nilai kehidupan berbangsa dan bernegara yang berlandaskan pada dasar sila pertama Pancasila," ujar Idris.
Nantinya, raperda itu diharapkan bisa mewujudkan kehidupan masyarakat Depok yang harmonis, rukun, damai, dan tenteram dengan latar belakang keberagaman suku, budaya, dan agama.
"Selain itu, raperda PKR itu bertujuan untuk menyelaraskan visi dan misi Kota Depok yaitu unggul, nyaman, dan religius," ungkap Idris.
Baca juga: Kata Pemkot Depok soal Raperda Penyelenggaraan Kota Religius...
Menurut Idris, Pemkot Depok terbuka akan komentar dan saran dari pihak DPRD, stakeholder, dan masyarakat terkait usulan raperda PKR tersebut.
Sebelumnya, DPRD Depok menolak usulan pemkot terkait raperda inisiatif Pemerintah Kota Depok tentang PKR.
Perda PKR ini disebut berisi aturan tentang bagaimana masyarakat Kota Depok menjalankan ajaran agama dan kepercayaannya.
Ketua DPRD Kota Depok Hendrik Angke Tallo mengatakan, peraturan tersebut tidak mungkin lagi diterapkan lantaran telah ditolak oleh badan musyawarah.
“Kalau kita bicara tentang agama, bukanlah kewenangan pemerintah daerah untuk mengatur bagaimana rakyat beragama, tetapi itu adalah kewenangan pemerintah pusat,” ucap Hendrik, saat dihubungi wartawan, Jumat (17/5/2019).
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.