BEKASI, KOMPAS.com - Tanggal 25 Oktober 2016, Pemerintah Kota Bekasi menggusur permukiman warga di Kampung Poncol Bulak, Jakasetia. Sepekan berselang, penggusuran itu berlanjut ke sisi selatan, tepatnya sisi tembok kompleks perumahan Peninsula.
Selasa (20/8/2019) ini, lahan tersebut tak banyak berubah sejak digusur. Beberapa hal yang membedakan ialah tumbuhnya semak-semak dan pepohonan liar serta munculnya balai semipermanen.
Sisanya, tanah gusuran itu tak beralih rupa. Reruntuhan bekas rumah warga juga masih tampak jelas.
Baca juga: Dituntut Tetapkan Status Quo untuk Lahan Gusuran, BPN Kota Bekasi Harap Warga Bersabar
Senin kemarin, korban gusuran dari lokasi itu yang tergabung dalam Forum Korban Penggusuran Bekasi (FKPB) berunjuk rasa di depan Kantor Badan Pertanahan Nasional (BPN) Kota Bekasi. Mereka mendesak BPN menetapkan status quo atas lahan tersebut.
Menurut FKPB, penggusuran 2016 silam malaadministrasi. Pemerintah Kota Bekasi dinilai melampaui hukum, sebab tanah yang ditempati warga sejak 1982 itu bukan tanah milik siapa pun, alias tanah negara bebas.
"Kami cek di peta interaktif BPN, yang di dalamnya dimuat inventarisasi tanah di Bekasi, ternyata statusnya tidak ada. Berarti tanah kosong, tanah negara bebas," kata Khairin Sangaji, pendamping korban gusuran saat ditemui Kompas.com di sekitar lahan gusuran itu, Selasa sore.
Temuan itu telah disampaikan lewat surat resmi ke BPN Kota Bekasi. Namun, yang disurati pilih mengulur keputusan dengan alasan perlu mencari keberadaan sertifikat tanah tersebut, barangkali ada yang memiliki.
Khairin yang rutin mendampingi korban gusuran di balai semipermanen yang dibangun di atas lahan gusuran menyebutkan bahwa kesadaran warga mulai bangkit belakangan ini untuk terus memperjuangkan haknya. Warga sudah tiga tahun tak punya rumah setelah digusur.
"Secara historis mereka tinggal dari 1982, punya kartu keluarga, KTP, dan bayar administrasi," kata Khairin.
"Dalam UUPA (Undang-undang Pokok Agraria) Nomor 5 Tahun 1960, orang yang udah menggarap tanah 20 tahun harus diprioritaskan haknya atas tanah itu. Sampai sekarang mereka tidak pernah diberikan hak prioritasnya atas tanah itu. Pemerintah juga tidak pernah menunjukkan bahwa itu tanah mereka," kata dia.
Baca juga: Dituntut Tetapkan Status Quo untuk Lahan Gusuran, BPN Kota Bekasi Harap Warga Bersabar
Khairin meminta status quo atas lahan kepada BPN agar lahan tersebut tak bisa diutak-atik siapa pun selama BPN mencari sertifikat tanah.
"Korban mungkin merasa perlu memperjuangkan rumahnya, karena membangun rumah dengan darah dengan keringat. Tapi ini bukan sekadar konflik rumah. Ini konflik tanah," kata Khairin.
Bukan pekerjaan mudah untuk merekatkan solidaritas para korban gusuran. Beberapa pilih minggat, lalu melanjutkan hidup dengan menyerah dan menelan pil pahit penggusuran karena kebutuhan dasar hidup begitu mendesak. Perjuangan merebut kembali hak mereka jadi prioritas nomor sekian.
"Warga tidak boleh dibiasakan mengevakuasi diri. Mereka harus sadar bahwa mereka punya hak atas tanah. Jangan merasa puas ketika mendapatkan uang kerahiman atau apa, karena haknya tidak segitu," imbuhnya.
Perlawanan ini pun diterjemahkan dalam balai semipermanen yang ibarat jadi basecamp para korban gusuran dan pendamping merajut tali silaturahim serta memelihara asa perjuangan. Perjuangan sudah terlalu jauh, ucap Khairin, apalagi mengingat 7 orang korban gusuran yang sudah meninggal dunia akibat tinggal di balai beratap terpal yang disulap jadi posko pengungsian.
"Ini tanah tidak jelas untuk apa peruntukannya sejak digusur. Tadinya kosong, lalu kami bangun tenda, lama-lama memanjang juga," kata Khairin, coba menyampaikan pesan bahwa korban masih dan akan terus bertahan di tempat ini hingga hak-haknya dipulihkan.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.