JAKARTA, KOMPAS.com - Tanggal 25 September 2019 malam, Maulana Suryadi tidak seperti biasanya.
Dengan sedikit manja, dia memijit-mijit punggung ibunya, Maspupah (50) yang sedang rebahan di depan televisi.
Sembari memijit, pria 24 tahun ini memohon-memohon kepada sang ibu untuk mengizinkan menonton demonstrasi di sekitar gedung DPR, Jakarta, malam itu.
"Iya minta izin katanya mau demo. 'Ngapain demo, nggak ada kerjaan demo-demo,' kata saya," ujar Maspupah saat ditemui di rumahnya di kawasan Kebayoran Lama, Jakarta Selatan, Kamis (3/10/2019).
Baca juga: Polisi Tangkap 1.365 Demonstran Saat Kericuhan 30 September, 179 Orang Ditahan
Namun, himbauan sang ibu tidak dipedulikannya. Dia tetap ingin ikut demonstrasi yang malam itu tengah dalam kondisi rusuh.
Dengan izin yang setengah direstui ibu, dia berangkat.
Sebelumnya berangkat, pria yang akrab disapa Yadi ini mencium tangan ibunya dua kali. Maspupah mengaku perilaku anak pertamanya itu tampak aneh.
Yadi kemudian menuju jembatan Slipi, Jakarta Barat.
Tidak ada firasat aneh yang dirasa Maspupah kala itu. Namun siapa sangka, tanganya tidak akan dicium Yadi lagi. Begitu pula dengan pijatan di punggung.
Rupanya, saat itu malam terakhir Yadi hidup.
Informasi kematian
Keesokan harinya, rumah Maspupah didatangi delapan polisi. Mereka membawa kabar duka tersebut.
Tangis Maspupah pecah di kontrakan tempat mereka tinggal. Badannya lemas hingga akhirnya pingsan.
Baca juga: Kronologi Unjuk Rasa di DPR hingga Kericuhan di Semanggi Versi Demonstran
Para polisi itu kemudian mengajak Maspupah melihat jenazah Yadi di RS Polri Kramat Jati, Jakarta Timur.
Dalam perjalanan, Maspupah terkejut ketika polisi malah mampir ke rumah makan untuk mengisi perut.