JAKARTA, KOMPAS.com – Jakarta berstatus daerah khusus ibu kota. Jakarta adalah urat nadi kehidupan nasional dan karena itu, urusan Jakarta juga urusan pemerintah pusat, termasuk soal banjir.
Pada Juni 2002, delapan petinggi negeri ini bertemu dan menelurkan kesepakatan bersama: Program Penanganan Banjir Jakarta.
Mereka bergerak menyusul tragedi banjir Jakarta pada Februari 2002 – yang dianggap paling parah pada era Kemerdekaan dengan 365 ribu lebih keluarga mengungsi serta 32 jiwa melayang.
Harian Kompas mencatat, pertemuan itu dihadiri Menteri Kimpraswil Soenarno, Menteri Dalam Negeri Hari Subarno, Menteri Negara Lingkungan Hidup Nabiel Makarim, Menteri Negara PPN/Ketua Bappenas Kwik Kian Gie, Menteri Keuangan Boediono, Gubernur DKI Jakarta Sutiyoso, Gubernur Jawa Barat R Nuriana, dan Gubernur Banten H Djoko Munandar.
Baca juga: Anies Ogah Tanggapi Saran Diskusi dengan Ahok soal Banjir Jakarta
Dalam kesepakatan itu, penanganan banjir dibagi menjadi Program Mendesak (jangka pendek) dengan biaya Rp 731,95 miliar, Program Jangka Menengah berbiaya Rp 4,334 triliun, dan Program Jangka Panjang dengan dana Rp 11,58 triliun.
Akan tetapi, kesepakatan ini menguap seiring hiruk-pikuk pemilihan umum langsung pada 2004. Dokumen kesepakatan tersebut tak pernah dibubuhi tanda tangan 8 petinggi tadi secara lengkap.
Pemprov DKI Jakarta akhirnya mau tak mau sendirian menghadapi bahaya banjir pada 2007. Pemprov DKI Jakarta terbukti tak berdaya.
Pemprov DKI Jakarta hanya mengantongi Rp 272 miliar dari kebutuhan Rp 1,2 triliun antisipasi banjir tahun 2007.
Tanda-tanda Jakarta akan dirundung banjir mulai tampak pada hari-hari perdana tahun 2007. Kombinasi seretnya dana plus lambannya gerak pemerintah jadi biang masalah.
Harian Kompas pada 4 Januari 2007 melaporkan, 13 sungai di Jakarta masih dipenuhi sampah sehingga “banjir tinggal menunggu waktu untuk kembali” dengan kerugian ditaksir Rp 95 miliar sehari.
"Pemerintah selalu alpa mengingatkan warganya terutama di 78 titik rawan banjir untuk waspada sejak awal. Dari arah kebijakannya, tidak pernah ada perubahan fundamental dari sudut pembangunan kota oleh pemerintah daerah, seperti proyek reklamasi pantura yang akan menenggelamkan Jakarta," kata Direktur Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Jakarta Selamet Daroyni ketika itu.
Sampah juga memenuhi Waduk Pluit di Jakarta Utara. Di saat yang sama, waduk yang berperan penting mengendalikan banjir tersebut terus ditumbuhi permukiman liar akibat amburadulnya tata ruang dan pembiaran aparat.
Keadaan itu membuat area Waduk Pluit terus menciut dari luas semula 85 hektar jelang puncak musim hujan. Sebanyak 11 dari 13 saluran masuk ke Waduk Pluit rusak, dijejali tiang permukiman liar (Kompas, 24 Januari 2007).
Itu keadaan di hilir. Di hulu, situasi sama-sama tak menggembirakan. Pemprov DKI Jakarta gagal membangun Bendung Ciawi di Kabupaten Bogor.
Menurut rencana awal, Pemprov DKI Jakarta sudah punya dana buat membangun Bendung Ciawi. Namun akhirnya terjegal aturan yang tak mengizinkan pembangunan di luar wilayah administrasi.
Segera lengkapi data dirimu untuk ikutan program #JernihBerkomentar.