JAKARTA, KOMPAS.com - Ribut-ribut soal koteka setelah dua aktivis Papua menggunakannya di dalam persidangan di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat beberapa waktu lalu adalah sedikit kisah potret diskriminasi yang diterima warga Papua.
Jauh sebelumnya, koteka memiliki riwayat kelam di negeri ini.
Arsip berita Kompas mencatat, pernah terjadi operasi koteka di tahun 1971 untuk mengganti keberadaan koteka di tanah Papua dengan celana pendek.
Berita yang ditulis pada 3 Agustus 1971 tersebut mencatat dana yang digelontorkan pemerintah untuk mengganti koteka di tanah Papua dengan celana pendek sebesar Rp 205 juta.
Baca juga: Asal Usul Koteka, Pakaian Khas Suku Dhani hingga Pernah Dirazia Zaman Orba
Operasi yang disebut dengan Operasi Koteka tersebut menargetkan seluruh pengguna koteka di Irian Barat (saat ini Papua). Mereka dipaksa beralih menggunakan celana pendek.
Saat itu, jumlah penduduk Irian Barat menembus angka 865.309 jiwa.
Dari jumlah tersebut, di tahun 1971 ada 259.593 orang Irian Barat sudah beralih dari penggunaan koteka dengan celana pendek.
Operasi tersebut ternyata tidak hanya pada koteka, melainkan juga pada kaum wanita Irian Barat yang menggunakan sali dan yokal, rok jumbai yang terbuat dari rumput gajah.
Baca juga: Koteka Dipersoalkan Hakim PN Jakpus, Bagaimana Aturan Pakaian Terdakwa dalam Sidang?
Wanita-wanita Papua itu diberikan sarung sebagai pengganti sali dan yokal yang mereka kenakan.
Pemerintah saat itu melalui Departemen Penerangan mengatakan, operasi koteka tersebut sebagai langkah awal untuk memajukan para penduduk pedalaman yang disusul dengan langkah-langkah lainnya.
Operasi koteka ternyata tidak berjalan mulus seperti yang direncanakan.
Koran Kompas menerbitkan laporan terkait kesulitan-kesulitan yang dialami pemerintah terkait operasi "membajukan" orang Irian Barat ini.
Kolonel Bambang Sumitro yang saat itu menjabat sebagai Ketua Task Force Pembangunan Masyarakat Pedalaman bertanggung jawab atas kegagalan Operasi Koteka itu.
Bambang menjelaskan, yang menjadi kesulitan saat operasi koteka berlangsung adalah pola pikir masyarakat yang sudah berusia tua di Irian Jaya.
"Cara berpikir mereka (orang tua Irian Barat) sudah sulit sekali diubah," keluh Bambang.