JAKARTA, KOMPAS.com - Moda Raya Terpadu atau Mass Rapid Transit (MRT) Jakarta memberikan harapan besar transportasi umum di dalam ibu kota.
Jakarta Mass Transit System mulai dicetuskan Presiden Ketiga Republik Indonesia BJ Habibie tahun 1985 saat dia menjabat sebagai Kepala Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) di era pemerintahan Presiden Soeharto itu.
Sejak saat itu, transportasi berbasis rel di Jakarta, termasuk di dalamnya adalah MRT, mulai dikembangkan.
Di masa kepemimpinan Gubernur DKI Sutiyoso, konsep awal pembangunan MRT mulai digurat di atas kertas. Termasuk konstruksi jalur bawah tanah yang disebut sebagai subway.
Memasuki tahun 2005, Presiden Keenam Susilo Bambang Yudhoyono memberikan keputusan bahwa MRT Jakarta masuk dalam proyek strategis nasional.
Baca juga: Gangguan Kelistrikan Internal, Penyebab Terganggunya Layanan MRT Jakarta
Gubernur DKI kemudian berganti pemimpin.
Di era Fauzi Bowo, PT MRT Jakarta dibentuk untuk menjadi pengelola sekaligus menjadi perusahaan yang membangun MRT Jakarta dibantu oleh Japan Bank for International Cooperation.
Era kepemimpinan pria yang akrab disapa Foke ini hanya sampai pada pemindahan beragam utilitas yang akan digunakan untuk pembangunan MRT.
Pada saat Gubernur Jokowi menjabat, barulah proyek MRT ini dieksekusi.
MRT dibangun secara resmi dengan peletakan batu pertama 10 Oktober 2013 yang sekarang menjadi stasiun dukuh atas.
Proyek tersebut kemudian diresmikan di masa kepemimpinan Gubernur Anies, tepatnya pada 24 Maret 2019. Namun belum sampai tiga tahun, MRT sudah dua kali mogok.
Mogok saat peristiwa blackout Jakarta
Peristiwa mogoknya MRT pertama kali terjadi 5 Agustus 2019 akibat dampak dari putusnya aliran listrik PLN pada 4 Agustus 2019.
Peristiwa 4 Agustus 2019 tersebut dikenal dengan blackout Jakarta yang menyebabkan seluruh aktivitas yang berkaitan dengan listrik terhenti berjam-jam, termasuk MRT.
Corporate Secretary yang saat itu dijabat Muhamad Kamaluddin mengatakan, MRT tak bisa beroperasi karena padamnya listrik dari PLN.