JAKARTA, KOMPAS.com - Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan didesak untuk menghentikan praktik swastanisasi air bersih di DKI Jakarta yang sudah berlangsung sejak 1997.
Desakan tersebut tertulis dalam Surat Peringatan (SP) 1 yang disampaikan oleh Koalisi Perjuangan Warga Jakarta (KOPAJA) yang meminta Anies memenuhi tuntutan tersebut sebelum masa jabatannya berakhir pada Oktober 2022 nanti.
"Kami mendesak Anies untuk memastikan penghentian praktik swastanisasi air di DKI Jakarta dengan membuat regulasi khusus berdasarkan keterbukaan informasi dan partisipasi yang luas," kata perwakilan warga dari LBH Jakarta Jenny Silvia di Balai Kota DKI Jakarta, Jumat (22/4/2022).
Koalisi warga juga mendesak agar Anies menjamin proses transisi pengelolaan air dari swasta ke pemerintah bisa segera terwujud.
Baca juga: Koalisi Warga Jakarta Minta Anies Tak Lakukan Betonisasi Untuk Atasi Banjir
Mereka juga meminta Anies untuk selanjutnya menjamin tidak ada upaya swastanisasi air di Jakarta.
Jenny mengatakan, hingga hari ini, masih banyak wilayah di DKI Jakarta yang sulit mengakses air bersih karena sistem perpipaan dikelola oleh swasta sejak 6 Juni 1997.
"Sejak saat itu hingga kini penguasaan dan pengelolaan air Jakarta beralih dari negara ke swasta. Padahal, mandat Pasal 33 Undang-Undang Dasar 1945 sangat jelas: bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat," imbuh Jenny.
Sejak kebijakan swastanisasi air berlaku, Jenny menilai bahwa seluruh pihak, mulai dari pemerintah hingga warga Jakarta golongan ekonomi bawah dirugikan.
Baca juga: Anies Diberi SP 1 oleh Koalisi Perjuangan Warga Jakarta, Ini 9 Tuntutannya
Setidaknya ada lima kerugian yang dialami, pertama jangkauan air bersih hanya bisa mencakup 62 persen wilayah Jakarta.
Kedua, terdapat 22,85 persen warga Jakarta yang tidak bisa menikmati pelayanan air.
Ketiga, harga air di Jakarta sangat mahal, mencapai Rp. 12.550 per meter kubik dan tidak memperhatikan kualitas.
"Keempat, pengelolaan air oleh Palyja dan Aetra tidak transparan dan akuntabel. Terakhir, negara dirugikan karena harus membayar imbal hasil atau biaya defisit kepada Palyja dan Aetra," kata Jenny.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.