JAKARTA, KOMPAS.com - Iktikad baik keluarga Mario Dandy Satriyo (20), pelaku penganiayaan pemuda berinisial D (17) di bilangan Pesanggrahan, Jakarta Selatan, tampak percuma.
Pasalnya, keluarga D menutup jalur damai usai korban dibuat babak belur hingga tak sadarkan diri oleh Mario.
D merupakan anak dari pengurus Gerakan Pemuda (GP) Ansor, badan otonom Nahdlatul Ulama (NU) yang bergerak di bidang kepemudaan.
Juru bicara keluarga D, M Rustam, mengatakan bahwa keluarga korban menutup jalur damai jika pelaku mengajukannya sewaktu-waktu.
Baca juga: Pengurus GP Ansor Tutup Jalur Damai untuk Pelaku yang Aniaya Anaknya hingga Koma
"Tidak ada mediasi damai, D-nya aja seperti itu kondisinya. Kalau anak orang dipukul seperti itu, kira-kira orangtua mana yang mau proses seperti itu," ungkap Rustam kepada Kompas.com, Rabu (22/2/2023).
Meski begitu, keluarga D telah menerima permintaan maaf dari keluarga Mario saat menjenguk korban ke Rumah Sakit Medika Permata Hijau.
Keluarga Mario meminta maaf atas kekerasan yang dilakukan pelaku.
"Jadi kemarin malam keluarga pelaku sempat datang ke RS. Mereka menyampaikan permohonan maaf dan kami (keluarga D) juga menerima permintaan maaf mereka," kata Rustam.
Namun, permintaan maaf keluarga pelaku yang diterima keluarga D bukan berarti menghentikan proses hukum yang tengah berjalan.
Baca juga: Keluarga Mario Jenguk Anak Pengurus GP Ansor di RS, Sampaikan Permintaan Maaf
"Prosedur tetap berjalan. Kami juga telah mendapat pendampingan dari LBH GP Ansor. Jadi kami minta kasus ini diproses secara adil," tutur Rustam.
Selain ogah berdamai, keluarga D juga dengan tegas menolak bantuan biaya rumah sakit yang ditawarkan keluarga Mario.
Menurut Rustam, keluarga D menyatakan bahwa mereka akan menanggung sendiri seluruh biaya rumah sakit.
"Ada tawaran dari keluarga pelaku untuk menanggung biaya RS, tetapi keluarga menolak," ujar Rustam.
"Keluarga memutuskan untuk menanggung seluruh biaya RS seorang diri," sambung dia.
Saat ini Mario telah ditetapkan sebagai tersangka. Ia dijerat Pasal 76 c juncto Pasal 80 UU Nomor 35/2014 dengan ancaman pidana maksimal lima tahun subsider Pasal 351 ayat 2 KUHP dengan ancaman pidana lima tahun.