JAKARTA, KOMPAS.com - Seorang karyawati berinisial AD mengaku pernah diajak jalan berdua oleh bosnya demi perpanjangan kontrak kerja sebuah perusahaan di Cikarang.
AD mengaku ajakan bosnya itu bahkan membuat batinnya tertekan. Atasannya selalu memaksa dan mengancam untuk memutus kontrak kerja AD di perusahaan.
Atas perbuatan bosnya itu, AD melaporkan pelaku kepada Kepolisian Resor (Polres) Metro Bekasi. AD sempat dicecar 35 pertanyaan perihal kejadian saat diperiksa polisi.
Baca juga: Bareskrim Ambil Alih Kasus Bos Ajak Karyawati Staycation, Masih Tahap Penyelidikan
Bukannya dapat dukungan, AD justru dihujani komentar tak pantas dari warganet di media sosial. Tentu saja ini menjadi pukulan ganda bagi AD yang sebetulnya menjadi korban.
"Kondisi ini malah semakin menyudutkan perempuan korban karena mendapatkan stigma dan mengalami kekerasan berlapis," Komisioner Komisi Nasional (Komnas) Perempuan Satyawanti Mashudi kepada Kompas.com, Selasa (16/5/2023).
Satyawanti menilai, perilaku bos perusahaan yang mengajak "staycation" pekerja perempuannya itu sebagai modus eksploitasi seksual.
"Atasan menggunakan relasi timpang dan kerentanan dari perempuan pekerja untuk memperoleh keuntungannya, dalam hal ini adalah layanan seksual," ucap Satyawanti.
Penyalahgunaan relasi kuasa tersebut, kata Satyawanti, yang dimaksud dengan eksploitasi seksual.
Modus ini, kata dia, masih sering ditemukan di ranah publik, baik itu di dunia kerja atau pun lembaga pendidikan.
Menurut Satyawanti, eksploitasi seksual adalah salah satu tindakan yang dapat diproses hukum menurut Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS).
Korban berinisial AD (23) dihujani beragam perkataan tak pantas di media sosial seolah karyawati itu pantas menerima konsekuensi atas paras cantik dan cara berbusananya.
Dalam video yang diposting oleh salah satu akun TikTok @ik***ngestu***, beragam komentar negatif justru ditulis warganet terhadap AD, salah satunya soal penampilannya.
"Dari penampilan udah kelihatan sih," tulis akun @ju****eligu**ng.
Sayangnya, kata Satyawanti, sikap menyalahkan korban atau victim blaming masih dijumpai di masyarakat. Sikap itu juga kerap dianggap sebagai reaksi yang secara umum terjadi.
"Kondisi ini malah semakin menyudutkan perempuan korban karena mendapatkan stigma dan mengalami kekerasan berlapis," ucap Satyawanti.