POLRI tampaknya sedang injak pedal gas dalam-dalam untuk menangani kasus tindak pidana perdagangan orang. Perdagangan orang disebut sebagai bentuk perbudakan modern.
Namun eksploitasi sesungguhnya tidak hanya dilakukan oleh manusia terhadap manusia. Selama ini ada praktik eksploitasi manusia terhadap makhluk bukan manusia: topeng monyet.
Sayangnya, eksploitasi terhadap satwa ini kadung dipandang sebagai atraksi hiburan. Bahkan kerap dianggap sebagai wujud kecerdasan manusia dalam melatih fauna agar berperilaku laiknya manusia.
Saya pribadi menentang atraksi topeng monyet. Tidak sebatas pidana. Topeng monyet, dalam standar kemanusiaan saya, adalah praktik niradab, bahkan biadab dengan menjadikan binatang sebagai mesin uang.
Terlebih manakala tidak ada orang yang memberikan uang, semakin berisiko keselamatan dan semakin memprihatinkan kehidupan kera-kera tersebut.
Mereka disiksa sedemikian rupa agar bisa menampilkan 'kelucuan' dan 'kehebatan'. Lalu, sebagaimana dikabarkan media investigatif, monyet-monyet itu (baca: pekerja utama) hanya diberikan sisa-sisa makanan oleh 'pemilik'-nya.
Tidak tega melihat nasib monyet-monyet itu, saya laporkan keberadaan topeng monyet di beberapa lokasi kepada Polres Bogor Kota.
Awalnya, jujur saja, saya tak berharap banyak. Toh, selama ini polisi acap dikritik karena pelayanannya tidak sesuai ekspektasi publik, padahal itu berkaitan dengan kasus yang menimpa manusia.
Maka, nalar awam saya mengatakan, apa pula respons yang akan kepolisian berikan pada kasus nonmanusia. Saya sudah siap kecewa.
Namun saya keliru. Begini ceritanya:
Tanggal 24 Juni 2023, saya memotret atraksi topeng monyet di lorong Gang Masjid dengan kamera ponsel saya. Foto monyet berdiri di aspal panas mengenakan baju merah di siang bolong, dengan leher terikat rantai, saya kirim langsung ke Kapolres Bogor Kota.
Nomor itu saya dapatkan dari flyer di grup whatsapp warga perumahan saya. Saya cantumkan lokasi atraksi topeng monyet itu. Plus pesan singkat, "Bisa mendapat atensi agar monyet tersebut dievakuasi, Pak Kapolres. Terimakasih."
Satu hal penting dalam komunikasi saya tersebut: nama yang tercantum di whatsapp saya hanya "Reza". Bukan nama lengkap.
Kapolres, saya yakini, tidak memiliki nomor ponsel saya. Saya pun sesungguhnya tidak pernah secara khusus mengingat-ingat nama apalagi nomor kontak Kapolres.
Dengan nama "Reza" saja, saya jelas-jelas orang biasa. Mungkin akan beda suasana andai saya cantumkan nama lengkap saya.