SEKTOR transportasi menjadi kambing hitam dalam peningkatan polusi di Jakarta. Sektor ini setidaknya menyumbang 40 persen total sumber pencemaran udara yang terjadi.
Tren mobilitas DKI Jakarta juga dapat dilihat pada jam-jam tertentu. Artinya masyarakat yang tinggal di sekitar Bodetabek (Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi) akan bermobilisasi menuju dan keluar DKI Jakarta.
Badan Pusat Statistik mencatat ada lebih dari 26 juta kendaraan yang berlalu lalang di wilayah Provinsi DKI Jakarta. Dari data tersebut, transportasi Jakarta didominasi kendaraan pribadi seperti mobil dan motor.
Lebih jauh, pertumbuhan kendaraan di wilayah Jakarta juga cukup tinggi. Setidaknya ada 4-5 persen peningkatan jumlah kendaraan pribadi setiap tahunnya.
Pertumbuhan kendaraan pribadi di sektor ini juga berimbas pada peningkatan angka kemacetan di Jakarta.
Menurut data Polda Metro Jaya pada 2022, tingkat kemacetan di DKI Jakarta pada rush hour bisa mencapai 54 persen. Hal ini juga didukung oleh index yang dikeluarkan oleh Tom Tom Traffic yang menempatkan Jakarta sebagai peringkat ke 19 kota dengan kemacetan tertinggi di dunia.
Permasalahan polusi dan kemacetan bukan hal baru di Jakarta. Mobilitas tinggi masyarakat di wilayah Jakarta dipicu statusnya sebagai kota metropolitan dan pusat perekenomian.
Namun, kontribusi sektor transportasi terhadap pencemaran udara tidak dapat dilihat secara sempit. Artinya mobilitas kendaraan perlu ditelisik dari hulu ke hilir.
Salah satu solusi yang ditawarkan pemerintah untuk menyelesaikan permasalahan ini adalah work from home dan elektrifikasi kendaraan bermotor.
Solusi pertama sudah dilakukan oleh Pemerintah Provinsi DKI Jakarta, dengan skema 50 persen ASN bekerja secara hybrid.
Di sisi lain, elektrifikasi kendaraan dipercaya dapat mengurangi produksi gas rumah kaca yang sebelumnya berasal dari bahan bakar fosil.
Di sektor transportasi, kebijakan-kebijakan pembangunan moda transportasi seperti Transjakarta, Mass Rapid Transit (MRT) maupun Lintas Rel Terpadu telah dilakukan.
Keberadaan transportasi publik dirasa menjadi solusi jangka panjang untuk mengurangi jumlah kendaraan pribadi di DKI Jakarta.
Meskipun demikian, keberadaan transportasi publik saat ini belum banyak mengubah perilaku masyarakat untuk berpindah dari kendaraan pribadi menuju transportasi publik.
Penyebabnya adalah konektivitas dan aksesibilitas transportasi publik yang belum optimal. Aksesibilitas menjadi salah satu indikator kualitas transportasi publik bersama dengan indikator lain seperti keterjangkauan, kenyamanan dan frekuensi perjalanan.