JAKARTA, KOMPAS.com - Koordinator Kelompok Ahli Badan Nasional Pengelola Perbatasan (BNPP) Irjen Pol (Purn) Hamidin Aji Amin menceritakan pengalamannya saat menjabat sebagai kapolsek pertama di wilayah perbatasan Indonesia-Malaysia, yakni Entikong, Kabupaten Sanggau, Kalimantan Barat.
Entikong merupakan perbatasan pertama di Indonesia yang memiliki gerbang menuju negara tetangga. Gerbang perbatasan saat itu diresmikan oleh Presiden Soeharto.
Sekitar 1990-an, Kepolisian Republik Indonesia (Polri) yang masih di bawah naungan Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI) diperintahkan mendirikan Kepolisian Sektor (Polsek) di Entikong.
Tujuannya untuk mengimbangi kekuatan negara tetangga di Pos Tebedu, Malaysia, yang sudah memiliki balai polisi dengan peralatan modern.
Baca juga: Dari Perbatasan Indonesia-Malaysia: Ringgit Laku di Entikong, Rupiah Bisa Dipakai di Tebedu
Hamidin bercerita, setelah lolos seleksi, ia dipindahtugaskan menjadi Kapolsek pertama Entikong dengan peralatan lengkap dan memiliki 178 personel.
“Bayangkan, untuk patroli ke perbatasan, saya dikasih kendaraan patroli lalu lintas lengkap. Seorang Kapolsek diberikan kendaraan dinas sendiri dan wajib punya ajudan untuk mengimbangi Malaysia,” ungkap Hamidin dalam acara "Bincang Santai Perbatasan" di Kantor BNPP, Kebon Sirih, Menteng, Jakarta Pusat, Senin (4/12/2023).
Kendati difasilitas peralatan lengkap, menjadi Kapolsek Entikong bukanlah perkara mudah. Banyak hal yang menjadi tantangan.
Hal pertama yang diingat Hamidin, banyak warga yang bingung dengan kewarganegaraannya sendiri.
Contohnya adalah seorang warga Entikong di Desa Suruh Tembawang yang memiliki istri berkewarganegaraan Malaysia.
“Saat ditanya di Malaysia, ‘Kamu orang mana?’, (dia jawab), ‘Kami orang Malaysia’. Begitu ditanya di Indonesia, (dia jawab), ‘Kami orang Indonesia’,” ujar Hamidin.
Baca juga: Saat Masyarakat Adat Dayak Ikut Upacara Kemerdekaan di PLBN Entikong...
Setelah ditelusuri, salah satu penyebabnya adalah perjanjian perdagangan perbatasan antara Indonesia dan Malaysia atau Indonesia-Malaysia Border Trade Agreement (BTA) 1970 yang masih berlaku hingga kini.
“Kita (warga Indonesia) hanya boleh belanja di Malaysia (maksimal) 600 ringgit per kepala (orang),” ungkap Hamidin.
Karena itu, saat berada di Malaysia, orang Indonesia mengaku warga Malaysia agar bisa belanja lebih banyak.
Di sisi lain, dengan adanya perjanjian itu pula, Malaysia mempelajari kebutuhan dasar warga Indonesia agar menggunakan produk negaranya.
Kebutuhan dasar itu salah satunya susu. Alhasil, merek-merek susu asal Negeri Jiran dengan harga yang murah seperti Klim, F&N, dan Dutch Lady merajai wilayah Entikong dan sekitarnya.
Baca juga: Pesan Peringatan Kemerdekaan di Entikong: Perbatasan Harus Jadi Episentrum Ekonomi