BEKASI, KOMPAS.com - Perjuangan Surahman (35) dimulai 10 tahun lalu saat ia diajak temannya untuk menjadi pemulung limbah plastik kresek di tempat pembuangan sampah terpadu (TPST) Bantargebang, Kota Bekasi.
Ia bekerja mengais limbah plastik kresek di "Gunung Sampah" Bantargebang dari pukul 05.00 sampai 16.00 WIB.
Satu per satu limbah plastik kresek dipilihnya dan dimasukkan ke dalam karung untuk dijual. Satu kilogramnya, cuma dihargai Rp 300.
Baca juga: 10 Tahun Jadi Pemulung, Surahman Ingin Cari Kerjaan Lain untuk Biayai Anak Sekolah
Di tengah harga bahan pokok yang mahal, Surahman mengakui pekerjaannya sebagai pemulung tidak mencukupi kebutuhan empat anggota keluarganya.
"Sekarang beras semua sembako mahal. Harga (jual) enggak sesuai apa yang kita makan, untuk harga sekarang itu Rp 300 rupiah (perkilo)," kata Surahman kepada Kompas.com di lokasi, Selasa (5/3/2024).
Jika cuaca sedang mendukung dan semangatnya sedang membara, ayah tiga anak itu bisa mengumpulkan tiga kuintal limbah plastik.
"Sehari saya dapat tiga kuintal, tergantung cuaca, hujan, panas, mata saya kan sudah enggak normal. Sehari Rp 60.000 atau Rp 80.000, yang penting saya enggak patah semangat," imbuh dia.
Pendapatnya sebagai pemulung tidak menentu.
Dalam sebulan, terkadang ia mendapat penghasilan bersih Rp 1 juta.
"Enggak tentu, kadang Rp 3 juta, tergantung kitanya gimana kerjanya. Tapi itu (pendapatan) kotor, bersihnya paling Rp 1 juta, Rp 800.000," ucap dia.
Surahman mengatakan, di zaman yang serba mahal, uang Rp 1 juta rasanya tidak cukup memenuhi kebutuhan keluarganya.
Surahman mengetahui risiko besar yang dihadapinya selama bekerja di atas tumpukan sampah.
"Ya memang risikonya berat, apalagi sekarang hampir sama dengan gedung-gedung tinggi di Jakarta, ini 80 meter ketinggian," ujar dia.
Gundukan sampah itu bisa saja longsor tiba-tiba.