Belum lagi keberadaan alat berat di lokasi yang dapat mengancam nyawa.
"Suka dukanya ya kalau longsor gitu ya kadang longsor, kalau kita ceroboh itu bisa kena alat berat itu, banyak saudara-saudara (pemulung lain) yang cacat fisik bahkan ada yang meninggal karena alat berat," tutur dia.
Surahman menuturkan, ribuan pemulung di Bantargebang tidak diberikan alat pelindung diri. Oleh karena itu, perlunya kewaspadaan diri.
Baca juga: Perjuangan Surahman Jadi Pemulung di Bantargebang, Cari Limbah Kresek demi Rp 300 Per Kilogram
"Makanya kita antisipasi jangan sampai kena alat namanya musibah kan kita enggak tahu," kata dia.
Mengesampingkan risiko demi mengais limbah plastik kresek seharga Rp 300 per kg dilakukan Surahman demi keluarga.
"Iya enggak sebanding, ya kita jalani saja dengan senang hati, enggak pernah ngeluh walau saya pemulung," imbuh dia.
Surahman tidak malu memiliki pekerjaan sebagai pemulung yang mengais limbah plastik kresek.
Ia bekerja dengan niat, kemauan dan tekat mencari rezeki untuk keluarganya dengan cara yang halal meski harga yang didapatkan tidak seberapa.
"Kalau di sini asal badan sehat, punya kemauan itu dapat rezeki, yang penting kan halal. Kalau kerjanya getol, ya alhamdulillah, kalau malas-malasan cuma cukup buat makan," kata Surahman.
Baca juga: Kisah Surahman, 10 Tahun Jadi Pemulung di TPST Bantargebang sampai Penglihatan Rabun
Ia setiap harinya bekerja selama 11 jam mencari limbah plastik kresek.
Ia juga kerja serabutan dengan menerima pekerjaan jika ada yang ingin menggunakan jasanya.
Hal itu dilakukan Surahman karena pendapatnya Rp 1 juta sebulan tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan keluarga.
"Kalau saya serabutan juga, ada teman minta tolong bantuin kerja naikin barang (ke truk) ayuk itung-itung buat jajan bocah," katanya seraya tersenyum.
Jika diberi pilihan, Surahman ingin lepas dari pekerjaannya yang sekarang karena kurangnya dana untuk membiayai anak sekolah.
"Saya punya anak tiga, yang dua masih sekolah, pengin banget (cari kerjaan lain)," ujar Surahman dengan penuh harap.