JAKARTA, KOMPAS.com - Seorang sopir angkot bernama Hasan Basri (55) mengisahkan jerih payahnya sebagai perantau yang bertahan di Ibu Kota.
Dalam satu momen, Hasan mengaku lebih baik berkelahi dengan orang lain daripada harus menahan lapar selama beberapa hari.
“Daripada enggak makan, tahan rasa lapar, mending saya ribut. Saya kan bukan mencuri, cuma mau bantuin orang,” ujar Hasan saat berbincang dengan Kompas.com di Terminal Pasar Minggu, Jakarta Selatan, Rabu (20/3/2024).
Momen ini terjadi saat Hasan baru tiba di Terminal Kalideres, Jakarta Barat, sebagai perantau asal Bukittinggi, Sumatera Barat, pada 1989.
Karena baru pertama kali menginjakkan kaki di Jakarta, Hasan belum mengetahui seluk-beluk Ibu Kota. Tidak ada tujuan, pikirannya hanya mencari pekerjaan.
Sayangnya, pikiran pria yang saat itu masih berusia 19 tahun dipenuhi dengan kebingungan. Terlebih uang di sakunya hanya tersisa Rp 10.000.
“Karena butuh makan, saya ikut calo yang buat isi (cari penumpang) angkot, sampai saya ke Kebayoran, Ciledug, Blok M. Karena butuh makan, belum punya kenalan. Ibaratnya, sering terjadi keributan waktu zaman itu,” ujar Hasan.
Keributan sering terjadi karena Hasan dianggap seenaknya menjadi calo di terminal-terminal. Oleh karena itu, pertengkaran tidak bisa terhindarkan.
Baca juga: Cerita Penonton Konser Coldplay soal Penipuan Calo Tiket, Temannya Rugi Rp 10 Juta
“(Kalau dulu, perantau enggak punya teman di Ibu Kota), susah. Hidup di Jakarta ini susah dulu. Digebukin kita masuk ke Terminal kalau enggak ada yang kita kenal,” kata Hasan.
“Iya (di Pasar Minggu). Kalau enggak ada yang kita kenal nih ya, kita masuk asal masuk saja, enggak bisa. Ibaratnya, hukum rimba berlaku. Siapa yang kuat, dia yang di atas,” lanjutnya.
Selama satu bulan menjadi calo penumpang angkot di terminal-terminal, Hasan akhirnya tiba di Terminal Pasar Minggu.
“Pokoknya, selama satu bulan itu, saya terdampar di mana-mana, celana putih sudah jadi hitam, karena tidur di mana saja,” kata Hasan.
Usai satu bulan berada di Pasar Minggu, Hasan juga bertemu dengan salah satu kerabat dari kampung halaman.
Baca juga: Dishub Bogor Bakal Pekerjakan Sopir Angkot Konvensional ke Angkot Listrik
Dari pertemuan tersebut, Hasan baru mengetahui bahwa temannya itu seorang sopir angkot. Perbincangan antar sesama perantau pun terjadi.
“Baru saya ikut, belajar, narik. Tapi, saya jadi kenek dulu. Sebenarnya itu enggak pakai kenek, tapi saya disuruh kenek dulu sewaktu angkot masih jaya-jayanya,” tutur eks narapidana kasus pencurian tersebut.
“Setoran masih murah, Rp 70.000 satu hari. Pendapatan Rp 20.000 sudah bagus, Rp 50.000 lebih bagus lagi. Nah, waktu zaman soeharto, uang Rp 50.000 buat makan satu minggu belum juga habis. Ya makan dulu berapa? Dulu cuma Rp 1.500,” ungkapnya lagi.
Sekira sampai tahun 1994, ia baru diperbolehkan menjadi sopir angkot M16 jurusan Pasar Minggu-Kampung Melayu, sampai detik ini.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.