JAKARTA, KOMPAS.com - Sopir angkot bernama Hasan Basri (55) membandingkan pendapatannya per hari pada era kepemimpinan Presiden Joko Widodo sejak hampir 10 tahun terakhir ini dengan presiden sebelumnya.
Hasan berujar, pekerjaan sopir angkot sempat menjadi primadona para perantau pada periode ‘90-an karena dianggap menjanjikan dibandingkan dengan pegawai negeri sipil (PNS).
“Kalau zaman dulu, sampai zaman Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), itu masih enak sopir angkot. Waktu zaman SBY, pendapatan bersih kami masih Rp 100.000 per hari,” kata Hasan saat berbincang dengan Kompas.com, Rabu (20/3/2024).
Baca juga: “Kalau Dulu, Lebih Bagus Sopir Angkot daripada PNS”
“Kalau sekarang ini, sejak zaman Presiden Jokowi, ya bagian (sopir) angkot ini, ya benar-benar menurun,” ujar Hasan melanjutkan.
Kondisi ini memaksa Hasan memperbolehkan istrinya untuk bekerja demi memenuhi kebutuhan sehari-hari mereka.
Sebab, Hasan dan pendamping hidupnya itu khawatir diusir pemilik kontrakan.
“Kita punya keluarga, istri bantuin (kerja) juga. Kalau enggak membantu, entar kita malah diusir orang (pemilik) kontrakan,” ungkap Hasan.
Hasan tak menampik bahwa keadaan saat ini membuatnya terimpit. Biaya hidup untuk bertahan di Ibu Kota terkadang tak terbendung seiring dengan naiknya harga pangan di pasar.
“Dapat Rp 40.000, Rp 50.000, Rp 70.000 sekali narik. Nah, biaya makan gadang (besar) sekarang, gede biaya kehidupan. Jadi enggak imbang. Kalau keluarga enggak dibantu (kerja) sama istri, (hidup) bakalan sengsara,” imbuh Hasan.
Baca juga: Kisah Sopir Angkot, Kini Sengsara tetapi Pernah jadi Profesi Primadona
Hasan memastikan, semua para sopir angkot di Jakarta juga merasakan hal serupa. Ia pun menantang untuk bertanya hal serupa kepada sopir angkot yang lain.
"Susah, cari setoran saja terkadang mengutang. Besok baru dapat duit, tombok lagi. Enggak dapat duit (pendapatan), pakai duit setoran (buat biaya sehari-hari). Besoknya kita cicil Rp 10.000 per hari, terus gitu," ungkap dia.
Hasan mengungkapkan, istrinya bekerja sebagai pengamen berkostum badut. Sehari-hari, istri bekerja bersama anak bungsunya yang masih berusia tiga tahun.
"Dia (istri) sudah melamar jadi tukang cuci, dan lain-lain. Tapi sudah penuh semua. Dia dulu Go Clean, karena melahirkan, enggak bisa lagi waktu itu. Sekarang melamar jadi pembantu rumah tangga, enggak diterima," kata Hasan.
Kini, Hasan dan keluarga bermukim di salah satu kontrakan di wilayah Pejaten Timur, Pasar Minggu, Jakarta Selatan.
Baca juga: Keluh Sopir Angkot di Jakarta: Cari Setoran Saja Terkadang Harus Utang
"Kontrakan satu petak. Kamar mandi di luar. Biaya sewa per bulan itu Rp 800.000. Saya punya anak dua, anak pertama saya SMP swasta, itu banyak pengeluarannya," ungkap Hasan.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.