Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

George Washington, Jokowi, dan Jim Carrey

Kompas.com - 18/07/2013, 06:59 WIB
Tjatur Wiharyo

Penulis

KOMPAS.com — Gambar wajah Soekarno bertebaran di banyak pecahan mata uang yang pernah terbit dan beredar di Indonesia. Sekarang, wajahnya ada di lembar pecahan uang Rp 100.000, nominal terbesar dari denominasi rupiah yang beredar.

Sama-sama pendiri negara seperti Soekarno, gambar wajah George Washington "diabadikan" di pecahan 1 dollar AS, uang kertas dengan nominal terkecil negara Paman Sam. Adakah filosofinya?

Kepada teman, seorang Amerika Serikat pernah mengatakan, "Amerika Serikat dibangun dari setiap 1 dollar AS. Penghargaan tertinggi bagi pendiri negara adalah terus menjadikannya fondasi negeri ini. Setinggi apa bangunan yang bisa Anda bangun, bergantung pada seberapa kuat fondasinya."

Jika betul begitu filosofi 1 dollar, AS menempatkan Washington di tempat yang seharusnya, yang ideal. Di atas fondasi itu, AS membangun etika dan etos, seperti pada puisi "The New Colossus" karangan Emma Lazarus di bagian kaki Liberty. AS bisa dan pernah jatuh, tetapi tak kehilangan jati diri karena tahu dari mana mereka berasal.

Bagaimana dengan Indonesia?

Sebagai negara, Indonesia juga punya fondasi. Pancasila dan Bhinneka Tunggal Ika adalah fondasi itu, tetapi perlahan dan tanpa sadar "dikhianati" anak bangsa sendiri. Jadilah bangsa Indonesia sebagai "bangsa tanpa identitas".

Apa buktinya? Indonesia sejak dulu kala dikenal sebagai negara agraris, tetapi hari ini Indonesia adalah negeri agraris yang terus saja mengimpor beras. Indonesia adalah negeri subur dan kaya hasil bumi, ibarat potongan lirik lagu lawas "...tongkat dan batu pun jadi tanaman...", tetapi hari ini justru ribuan anak negeri "diekspor" menjadi tenaga kerja di luar negeri.

Setiap bangsa besar pasti bangga pada bahasanya. Namun apa yang terpampang hari ini di Indonesia? Meski mengaku berbahasa satu, bahasa Indonesia, kalangan terpelajar Indonesia terlalu kerap menulis kata "menunjukkan" dengan "menunjukan" tanpa tahu apa yang salah.

Dalam keseharian, nilai sebagai bangsa beradab juga perlu dipertanyakan ulang. Hak pejalan kaki dianggap biasa saja ketika dirampas para pedagang yang menggelar dagangan. Sebagai bangsa Timur, kekerasan dan hinaan pun terlalu sering terlontar dalam percakapan.

Anak-anak Indonesia sekarang fasih berbahasa Inggris, tetapi tak tahu lagi arti pepatah "rawe-rawe rantas malang-malang putung". Begitu juga dari beragam tontonan anak-anak seolah bersahabat akrab dengan Superman, tetapi sama sekali tak kenal siapa Werkudara apalagi Buya Hamka.

Lucunya, bangsa ini berteriak dan mengaku marah, ketika negara tetangga mengklaim batik sebagai bagian budaya mereka. Sementara itu, anak-anak Indonesia lebih kenal Charles Dickens pada saat mereka hanya melongo ketika disodorkan nama Ranggalawe.

Tantangan Jokowi

Merapat ke Jakarta, ibu kota Indonesia, ada banyak pekerjaan rumah yang menghampar di muka Gubernur DKI Jakarta Joko Widodo. Kota ini adalah gambaran nyata banyaknya hal mendasar yang tak diletakkan pada tempatnya. Tantangan bagi Jokowi, nama panggilan Joko Widodo adalah mengembalikan banyak hal dasar yang selama ini biasa dilanggar dan telah menjadi hal biasa pula.

Misalnya, mengembalikan fungsi waduk sebagai tempat penampungan air, bukan malah menjadi kubangan air bersampah dengan permukiman mengitarinya. Begitu juga mengembalikan fungsi jalan yang kendaraan-kendaraannya berlalu lintas mengalir, bukan macet total atau terhambat padatnya pedagang di kiri-kanannya.

Tak terkecuali fungsi kehadiran sebuah Monumen Nasional, yang sepertinya sudah dilupakan banyak pengampu kebijakan. Melacak sejarahnya, Monumen Nasional seharusnya adalah pusat kegiatan dan hiburan untuk rakyat, memberikan ruang untuk budaya lokal mendapatkan panggung yang selayaknya. Maka, pergelaran drama musikal Ariah ibarat titik embun di tengah "kegersangan" Monumen Nasional di masa sebelumnya.

Halaman Berikutnya
Halaman:
Baca tentang
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Harga Bawang Merah Melonjak, Pemprov DKI Bakal Gelar Pangan Murah

Harga Bawang Merah Melonjak, Pemprov DKI Bakal Gelar Pangan Murah

Megapolitan
Pemprov DKI Diminta Lindungi Pengusaha Warung Madura Terkait Adanya Permintaan Pembatasan Jam Operasional

Pemprov DKI Diminta Lindungi Pengusaha Warung Madura Terkait Adanya Permintaan Pembatasan Jam Operasional

Megapolitan
Kronologi Brigadir RAT Bunuh Diri Pakai Pistol di Dalam Alphard

Kronologi Brigadir RAT Bunuh Diri Pakai Pistol di Dalam Alphard

Megapolitan
Polisi Pastikan Kasus Dugaan Pemerasan Firli Bahuri Masih Terus Berjalan

Polisi Pastikan Kasus Dugaan Pemerasan Firli Bahuri Masih Terus Berjalan

Megapolitan
Brigadir RAT Diduga Pakai Pistol HS-9 untuk Akhiri Hidupnya di Dalam Mobil

Brigadir RAT Diduga Pakai Pistol HS-9 untuk Akhiri Hidupnya di Dalam Mobil

Megapolitan
Korban: Guling yang Dicuri Maling Peninggalan Almarhum Ayah Saya

Korban: Guling yang Dicuri Maling Peninggalan Almarhum Ayah Saya

Megapolitan
Guling yang Dicuri Maling di Cinere Usianya Sudah Belasan Tahun

Guling yang Dicuri Maling di Cinere Usianya Sudah Belasan Tahun

Megapolitan
Khawatir Rumahnya Diambil Pemerintah, Banyak Warga Tanah Tinggi Tak Ikut Program 'Bebenah Kampung'

Khawatir Rumahnya Diambil Pemerintah, Banyak Warga Tanah Tinggi Tak Ikut Program "Bebenah Kampung"

Megapolitan
Anggota Polresta Manado Tembak Kepalanya Pakai Senpi, Peluru Tembus dari Pelipis Kanan ke Kiri

Anggota Polresta Manado Tembak Kepalanya Pakai Senpi, Peluru Tembus dari Pelipis Kanan ke Kiri

Megapolitan
Maling Guling Beraksi di Cinere, Korban: Lucu, Kenapa Enggak Sekalian Kasurnya!

Maling Guling Beraksi di Cinere, Korban: Lucu, Kenapa Enggak Sekalian Kasurnya!

Megapolitan
Kronologi Pengendara Moge Tewas Terlindas Truk Trailer di Plumpang

Kronologi Pengendara Moge Tewas Terlindas Truk Trailer di Plumpang

Megapolitan
Mayat Bayi di Tanah Abang, Diduga Dibuang Ayah Kandungnya

Mayat Bayi di Tanah Abang, Diduga Dibuang Ayah Kandungnya

Megapolitan
2 Pria Rampok Taksi 'Online' di Kembangan untuk Bayar Pinjol

2 Pria Rampok Taksi "Online" di Kembangan untuk Bayar Pinjol

Megapolitan
Heru Budi: Jakarta Bisa Benahi Tata Kota jika Pemerintahan Pindah ke IKN

Heru Budi: Jakarta Bisa Benahi Tata Kota jika Pemerintahan Pindah ke IKN

Megapolitan
Polda Metro Jadwalkan Pemeriksaan Pendeta Gilbert Lumoindong Terkait Dugaan Penistaan Agama

Polda Metro Jadwalkan Pemeriksaan Pendeta Gilbert Lumoindong Terkait Dugaan Penistaan Agama

Megapolitan
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com