JAKARTA, KOMPAS.com —
Rumah Susun (Rusun) Marunda mendadak padat dalam delapan bulan terakhir. Lebih dari seribu keluarga datang dari sejumlah lokasi penggusuran di DKI Jakarta. Masalah timbul karena tak sedikit di antara mereka yang penganggur. Ada pula yang melepas pekerjaan karena pindah dan jarak tempat tinggal ke lokasi kerja terlampau jauh.

”Tangan” pun diulurkan. Mayoritas dari pemerintah, beberapa dari kalangan swasta dan perseorangan. Bantuan, antara lain, berupa pelatihan merias, menjahit, memasak, dan memperbaiki peralatan elektronik. Penghuni baru yang terpilih mendapat bantuan modal usaha dari pemerintah daerah, berikut lapak dagang di beberapa lantai dasar rusun. Mereka menjual beraneka jenis makanan dan minuman.

Awalnya terasa menjanjikan. Pembeli ramai. Dagangan habis sebelum waktu tutup tiba. Sudarno (56), pedagang mi ayam asal Waduk Pluit yang pindah ke Blok 2 Kluster B Rusun Marunda, bahkan bisa mengantongi omzet Rp 400.000 per hari, hampir dua kali lipat dari perkiraannya.

Namun, situasi berubah sejak akhir April 2013. Omzet turun saat masa tanggap darurat banjir usai. Tak ada lagi relawan sosial atau sanak keluarga yang berkunjung. Beberapa pedagang menyerahkan lapaknya kepada penghuni rusun lain. Sayangnya, pedagang pengganti tak lebih baik nasibnya.

Selain pelatihan, modal, dan lapak usaha, penghuni baru Rusun Marunda juga disalurkan sebagai pekerja lepas di Kawasan Berikat Nusantara Cakung dan Marunda. Sebanyak 250 penghuni direkrut sebagai tenaga kebersihan kawasan dengan upah rata-rata Rp 75.000 per hari.

Kail sudah dibagikan, tetapi ikan tak tertangkap juga. Usaha dagang belum mapan, sementara penghasilan dari kerja sebagai tenaga kebersihan dinilai kurang. Sejumlah penghuni menilai usaha pemerintah membangun kawasan belum sepenuhnya berhasil.

Batik

Awal September 2013, giliran Keluarga Batik Betawi (KBB) mengulurkan tangan. Mereka mengumpulkan penghuni rusun untuk mengikuti pelatihan memproduksi batik, khususnya mencanting dan mengecap kain. Sebanyak 25 penghuni yang semuanya ibu rumah tangga ikut pada kesempatan pertama.

”Ada beberapa peserta yang punya potensi sebagai pebatik yang baik. Mereka kami ajak kerja memproduksi batik. Sejak itu, warga lain tertarik untuk belajar membatik karena tahu usaha ini menghasilkan dan potensial,” kata Dyah Candradini, Wakil Ketua Umum KBB.

Ia menambahkan, pelatihan dan pendampingan dibuka bagi umum. Pada tahap awal, kelas digelar di Kluster B dengan materi dasar membatik, terutama mencanting, di atas selembar kain ukuran 2 meter x 1,15 meter. Hingga pertengahan Oktober 2013, peserta mencapai 60 orang.

”Mereka kami tantang untuk berkreasi, mencanting di atas selembar kain kosong. Hasilnya kami beli Rp 50.000 per lembar kain ukuran 2 meter x 1,15 meter. Mereka bisa mengerjakannya dalam 1-3 hari,” ujar Dyah.

Wali Kota Jakarta Utara Bambang Sugiyono mengatakan, Rusun Marunda akan dikembangkan sebagai sentra pengembangan batik khas Betawi. Kawasan ini dinilai punya potensi tenaga kerja, sementara pasar batik masih terbuka. Cara ini diharapkan bisa mengangkat ekonomi keluarga sekaligus kawasan agar lebih maju.

Seperti Bambang dan Dyah, Ampra (45), penghuni Blok B1 Kluster B Rusun Marunda, berharap batik bisa jadi penghasilan tambahan bagi keluarganya. Kini, selain Siti Rugaya (34), istri Ampra, anak sulung mereka, Fajriah Nurmutmainah (10), juga ikut membatik di sela-sela waktu belajarnya.

(Mukhamad Kurniawan)