JAKARTA, KOMPAS.com  Hujan deras yang mengguyur dalam beberapa hari terakhir menyebabkan bencana banjir di Jabodetabek. Selain menewaskan lima warga, banjir juga melumpuhkan sebagian wilayah Jakarta. Upaya Pemerintah Provinsi DKI Jakarta dan pemerintah pusat belum optimal mengendalikan banjir di Ibu Kota.

Hingga Selasa (14/1/2014), ribuan warga DKI Jakarta masih mengungsi. Data Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) DKI Jakarta menyebutkan, 2.466 orang mengungsi. Adapun Polda Metro Jaya menyebutkan, ada 10.523 warga yang tinggal di pengungsian.

BPBD DKI Jakarta mencatat 175 rukun warga di 33 kelurahan terendam. Semua pihak kembali diingatkan bahwa bencana ini adalah akibat kesalahan pengelolaan lingkungan Jabodetabek.

Ahli hidrologi Fakultas Teknik Universitas Indonesia, Firdaus Ali, kemarin, mengatakan, banjir yang setiap tahun melanda Jakarta bukan semata-mata bencana hidrologis. Persoalan itu merupakan buntut dari buruknya komunikasi dan koordinasi antarpemangku kepentingan serta lemahnya penegakan hukum.

Firdaus Ali mengatakan, meskipun ada Badan Kerja Sama Antarprovinsi (BKSP), komunikasi tidak terbangun baik. ”Setiap pemimpin daerah merasa menjadi raja, terutama di tempat masing-masing,” kata Firdaus Ali.

Komunikasi dan koordinasi antara pemerintah daerah dan pemerintah pusat pun setali tiga uang. Hal tersebut menyebabkan upaya teknis mencegah banjir menjadi tidak optimal. Untuk itu, ia menyarankan agar pemerintah pusat mengambil inisiatif menunjuk satu pejabat, atau kepala daerah, dan memberinya wewenang untuk menjadi koordinator pengelolaan sumber daya air. Selain itu, tentu saja dibutuhkan penegakan hukum.

Normalisasi sungai

Direktur Jenderal Sumber Daya Air Kementerian Pekerjaan Umum Mohammad Hasan menegaskan akan menindak semua pelanggar batas bantaran kali. Ia mencontohkan, kompleks bangunan permanen tepat di bantaran Pesanggrahan di kawasan Cipulir, Jalan Swadarma, hingga di Pos Pengumben, akan ditertibkan.

Normalisasi sungai-sungai di Jabodetabek ditargetkan selesai tahun 2016. ”Normalisasi Pesanggrahan kini sudah mencapai 60 persen lebih. Di Angke dan Sunter juga tengah digenjot. Sementara Ciliwung baru dimulai Januari ini,” katanya.

Di sisi lain, normalisasi Ciliwung masih terkendala oleh relokasi penduduk. Kawasan di sepanjang Jalan TB Simatupang hingga Pintu Air Manggarai, sedikitnya dihuni 30.000 keluarga. Menurut Hasan, tanpa merelokasi warga bantaran, normalisasi Ciliwung sulit dilakukan.

Ahli lingkungan Universitas Indonesia, Tarsoen Waryono, dan penggerak peta hijau Nirwono Joga meminta pemerintah pusat maupun daerah segera mengambil tindakan untuk mengatasi bencana banjir dan longsor agar tidak selalu berulang.

”Perbaikan lingkungan termasuk kawasan hutan di hulu sungai di Puncak, Bogor, sampai situ-situ dan waduk yang tidak hanya di Jakarta, tetapi juga di Tangerang, Bekasi, dan Depok harus direvitalisasi,” kata Tarsoen.

Nirwono menambahkan, ada lima langkah memutus mata rantai banjir. Langkah itu adalah revitalisasi saluran air makro-meso-mikro secara terpadu, bebas sampah dan bangunan; normalisasi 13 sungai menjadi lebih lebar dan dalam, serta relokasi warga ke rumah susun; revitalisasi daerah tangkapan air yang terdiri dari 42 waduk dan 14 situ di Jakarta serta 200 waduk/situ di Bodetabek; perbanyak ruang terbuka hijau dari 9,8 persen menjadi 30 persen sebagai daerah resapan air; terakhir rekayasa sosial agar warga sukarela bergeser ke rumah susun, juga gerakan massal pembangunan sumur resapan air.

Dampak banjir

Banjir yang merendam sekitar 10 persen wilayah Jakarta berdampak pada terganggunya infrastruktur vital. Senin lalu ada 13 titik jalan yang tergenang hingga kedalaman 1 meter dan melumpuhkan lalu lintas di sekitarnya. Salah satunya di Jalan TB Simatupang, tepatnya di depan Plaza Oleos dan Kantor DPP PAN.