JAKARTA, KOMPAS.com - Penulis novel Ca-bau-kan yang berlatar Kalijodo, Yapi Tambayong alias Remy Sylado, menjelaskan, Kalijodo awalnya tempat rekreasi para kio seng (perempuan peranakan Tionghoa) mencari jodoh dengan bernyanyi Mandarin di atas biduk yang dihiasi pelita lampion.
"Suasananya masih jauh dari hiruk pikuk Kalijodo kini," ujar Remy saat dihubungi pada Jumat lalu.
Cerita mengenai Kalijodo di masa lalu ini dimuat dalam Harian Kompas edisi 16 Februari 2016, dalam berita berjudul "Sepenggal Malam di Tepian Kalijodo" yang ditulis dua wartawan Kompas, yaitu Windoro Adi dan Saiful Rijal Yunus.
"Para kio seng ini memakai pakaian terusan cheongsam. Rambutnya digelung cepol ditutup batok kepala dengan tusuk konde. Ini kesaksian saya di tahun 1955," ucap Reginal alias Ceceng (67), yang ditemui di rumahnya tak jauh dari Kalijodo, seperti dikutip dari Kompas.
Rumah-rumah bordil, kata anak tunggal seorang bandar opium di era pemerintahan Hindia Belanda ini, baru dikenal di Jembatan Dua yang letaknya tak jauh dari Kalijodo.
Praktik prostitusi di Jembatan Dua itu, lanjutnya, meluas ke Kalijodo seiring datangnya para pendatang dari luar Pulau Jawa.
Kini, banyak kalangan memiliki usaha dan menggantungkan hidupnya dari Kalijodo, mulai dari pramusaji hingga petugas keamanan.
Masalah sosial pun kait-mengait dan butuh perhatian serius untuk menguraikannya. (Saiful Rijal Yunus dan Windoro Adi).
-----
Simak laporan soal kawasan Kalijodo di harian Kompas edisi hari ini, Selasa (16/2/2016), atau silakan berlangganan di http://kiosk.kompas.com dan baca versi epapernya di http://epaper.kompas.com.