JAKARTA, KOMPAS.com - Jaksa Penuntut Umum Ali Mukartono menyebut terdakwa kasus dugaan penodaan agama Basuki Tjahaja Purnama telah merasa paling benar sendiri terkait metode berkompetisi di Pilkada.
Jaksa mengacu kepada sikap Basuki atau Ahok yang mengharuskan calon kepala daerah untuk adu program dalam pilkada.
"Dalam kaitan ini, terdakwa telah menempatkan diri sebagai orang paling benar dengan mengharuskan kandidat kepala daerah supaya menggunakan metode yang sama dengan terdakwa yaitu dengan adu program," ujar Jaksa dalam persidangan di Pengadilan Negeri Jakarta Utara, Jalan Gajah Mada, Selasa (20/12/2016).
"Sebaliknya, yang gunakan metode lain disebut tidak sepaham dengan terdakwa, termasuk yang menggunakan surat Al-Maidah ayat 51, dianggap sebagai oknum elite yang pengecut," kata Jaksa.
Jaksa mengatakan, seharusnya koridor yang digunakan adalah peraturan Undang-undang yang berlaku. Jika kepala daerah lain tidak menggunakan metode yang sama dengan Ahok, maka tidak bisa dipermasalahkan. Selama metode yang digunakan tidak melanggar peraturan.
"Sikap terdakwa yang secara tidak langsung merasa paling benar. Seloah-olah tidak ada orang lain yang lebih baik dari terdakwa. Sehingga yang lain dianggap pengecut hanya karena menggunakan surat Al-Maidah ayat 51," ujar Jaksa.
Jaksa mengatakan, itu merupakan pendapat atas pembelaan Ahok pada persidangan pekan lalu. Khususnya pada bagian sebagai berikut:
"Saya tidak tahu apa yang digunakan oknum elit di Bali yang beragama Hindu, atau yang beragama Budha. Tetapi saya berkeyakinan, intinya, pasti, jangan memilih yang beragama lain atau suku lain atau golongan lain, apalagi yang ras nya lain.
Intinya, pilihlah yang seiman/sesama kita (suku, agama, ras, dan antar golongan). Mungkin, ada yang lebih kasar lagi, pilihlah yang sesama kita manusia, yang lain bukan, karena dianggap kafir, atau najis, atau binatang!
Karena kondisi banyaknya oknum elit yang pengecut, dan tidak bisa menang dalam pesta demokrasi, dan akhirnya mengandalkan hitungan suara berdasarkan se-SARA tadi, maka betapa banyaknya, sumber daya manusia dan ekonomi yang kita sia-siakan. Seorang putra terbaik bersuku Padang dan Batak Islam, tidak mungkin menjadi pemimpin di Sulawesi.
Apalagi di Papua. Hal yang sama, seorang Papua, tidak mungkin menjadi pemimpin di Aceh atau Padang. Kondisi inilah yang memicu kita, tidak mendapatkan pemimpin yang terbaik dari yang terbaik. Melainkan kita mendapatkan yang buruk, dari yang terburuk, karena rakyat pemilih memang diarahkan, diajari, dihasut, untuk memilih yang se-SARA saja. Singkatnya, hanya memilih yang seiman, kasarnya yang sesama manusia".