Makin sering ditemui ondel-ondel diarak keliling kampung oleh sejumlah orang dalam rangka mengamen, meminta-minta uang receh dari warga di tanah kelahiran ondel-ondel itu sendiri.
Para pihak yang mengamen dengan ondel-ondel itu menilai bahwa kegiatan tersebut tidak hanya bertujuan mencari uang tetapi sekaligus melestarikan budaya Betawi. Namun tak semua setuju dengan pendapat itu.
Pemerhati budaya Betawi asal Kemayoran, Ahmad Suaip alias Davi, melihat itu sebagai kondisi dilematis. Di satu sisi, memang ada seniman Betawi yang merasa sah-sah saja ondel-ondel dijadikan sarana mengamen.
"Katanya ada sejarawan yang bilang dulunya ondel-ondel itu juga memang untuk ngamen," kata Davi saat ditemui Kompas.com di Kemayoran, Rabu (20/6/2018).
Namun Davi merasa seharusnya ondel-ondel tak diperlakukan seperti itu. Davi mengatakan mereka yang mengamen dengan ondel-ondel murni melakukanya untuk mencari uang, bukan untuk melestarikan ondel-ondel itu sendiri.
Ia mengatgakan, tak masalah jika boneka raksasa itu digunakan untuk mencari uang, tetapi mencari uang yang bagaimana, mengamen yang bagaimana?
"Kalau yang sekarang terjadi, ngamennya tidak niat. Lihat, alat-alatnya tidak lengkap, musiknya kadang lagu dangdut, yang ngamen tidak pakai seragam cuma kaos saja, ngerokok lagi kadang-kadang," ujar Davi.
"Apa yang seperti itu disebut melestarikan budaya? Orang yang ngamen begini, enggak berniat melestarikan segala macam, tujuannya hanya cari duit," tambah dia.
Kekhawatiran
Ondel-ondel juga jangan dijadikan mata pencaharian satu-satunya.
"Harusnya untuk makan, ya dia harus bekerja, bukan menjual budaya," kata Davi.
Davi khawatir hal itu malah memberi citra buruk bagi seniman dan ondel-ondel Betawi.
Davi mengatakan seharusnya Lembaga Kebudayaan Betawi bisa membina pengamen-pengamen itu. Pemerintahan juga harusnya bisa mengambil peranan lebih besar.
Menurut dia, pemerintah sudah punya senjata ampuh untuk membuat seniman atau perajin ondel-ondel berdaya. Dia mengacu kepada Peraturan Daerah Nomor 4 Tahun 2015 tentang Pelestarian Budaya Betawi.
Perda itu juga sudah diatur teknisnya dalam Peraturan Gubernur (Pergub) Nomor 11 Tahun 2017 tentang Ikon Budaya Betawi. Davi mengatakan seharusnya aturan dalam perda dan pergub itu dijalankan.
Dia mengambil satu contoh Pasal 11 Perda Nomor 4. Salah satu ayatnya berbunyi, "Memanfaatkan ruang publik, hotel, tempat perbelanjaan, kantor pemerintahan, gedung kesenian, gedung sekolah dan media massa sebagai upaya pelestarian kesenian Betawi".
"Andaikan semua hotel saja ya, di Jakarta, itu diwajibkan pajang sepasang ondel-ondel di lobi mereka. Perajin ondel-ondel malah kerepotan," ujar Davi.
Namun Davi yakin, perajin ondel-ondel siap dan mampu memenuhi kebutuhan semua hotel di Jakarta. Dia meyakini hal ini bisa membuat pengamen ondel-ondel berkurang. Perajin ondel-ondel bisa menjual karya mereka ke hotel-hotel itu.
Menurut Davi, selama ini perajin ondel-ondel kerap menawarkan karya mereka ke berbagai pihak seperti hotel dan pusat perbelanjaan. Namun tawaran itu tidak pernah ditanggapi.
"Karena tidak diwajibkan. Coba kalau diwajibkan, bukan seniman yang mencari mereka tapi sebaliknya," ujar dia.
https://megapolitan.kompas.com/read/2018/06/22/11102271/nasib-ondel-ondel-kini-saat-digunakan-untuk-mengamen