Pelaporan tersebut terkait tidak dilaksanakannya putusan Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) DKI Jakarta yang memerintahkan untuk meloloskan nama M Taufik sebagai bakal calon anggota DPRD DKI pada Pemilu 2019.
Taufik sebelummya telah mengancam akan melaporkan KPU DKI Jakarta ke DKPP jika KPU DKI tidak juga melaksanakan putusan Bawaslu DKI Jakarta itu.
"Kami melaporkan KPU RI dan KPU DKI Jakarta, para komisioner dan seluruhnya terkait tidak dilaksanakannya putusan Bawaslu DKI Jakarta yang memerintahkan berkas pencalonan M Taufik dari DPD Gerindra menjadi memenuhi syarat," kata Ketua Lembaga Advokasi DPD Gerindra DKI Jakarta Yupen Hadi di Kantor DKPP saat menyampaikan laporan Taufik.
Yapen menilai, KPU RI dan KPU DKI Jakarta telah melanggar kode etik karena tidak melaksanakan putusan Bawaslu. Menurut Yapen, tidak ada alasan bagi KPU DKI Jakarta untuk menunda pelaksaan putusan tersebut.
Menurut dia, sikap KPU DKI Jakarta yang menunggu putusan uji materi dari Mahkamah Agung (MA) tidak memiliki dasar hukum.
Dia berharap agar DKPP tegas dan menjatuhkan sanksi etik terhadap lembaga tersebut.
KPU DKI tunda pelaksanaan perintah Bawaslu
Ketua KPU DKI Jakarta Betty Epsilon Idroos mengatakan, pihaknya akan tetap menaati aturan yang disampaikan KPU RI terkait penundaan pencalonan Taufik sebagai bakal calon anggota DPRD DKI pada Pemilu 2019.
"Kami taat dan patuh karena sebagai implementator dari regulasi yang sudah diputuskan KPU RI," ujar Betty.
Betty mengatakan, sebagai bagian dari KPU RI, pihaknya wajib melaksanakan perintah KPU RI. KPU DKI Jakarta menunda untuk menjalankan putusan tersebut karena mematuhi Surat Edaran KPU RI Nomor 991 Tahun 2018.
Isinya, KPU provinsi dan kabupaten/kota diminta untuk menunda pelaksanaan putusan Bawaslu sampai keluar putusan uji materi Mahkamah Agung terhadap Peraturan KPU Nomor 20 Tahun 2018 tentang Pencalonan Legislatif.
KPU DKI Jakarta juga telah bersurat ke Bawaslu DKI bahwa akan menunda pelaksanaan putusan Bawaslu, sampai keluarnya hasil uji materi Paraturan Komisi Pemilihan Umum (PKPU) di Mahkamah Agung.
"Kami sudah tindak lanjut dengan bersurat sesuai dengan pedoman tertulis KPU RI. Sekali lagi, surat berlaku untuk seluruh KPU provinsi se-Indonesia," ujar Betty.
Adapun KPU RI menghormati laporan tersebut dan menyerahkannya ke DKPP.
"Ya, kita hormati. Biar DKPP yang memutuskan apakah kami melanggar etik atau tidak," kata Komisioner KPU Ilham Saputra.
Kesepakatan DKPP, KPU dan Bawaslu
Sebelum pelaporan Taufik, DKPP bersama KPU dan Bawaslu membuat dua kesepakatan terkait bakal calon anggota legislatif (bacaleg) mantan narapidana kasus korupsi. Kesepakatan itu diambil seusai ketiga lembaga penyelenggara pemilu itu menggelar pertemuan, Rabu malam lalu.
Kesepakatan pertama, DKPP, KPU, dan Bawaslu akan mendorong Mahkamah Agung untuk memutuskan uji materi (judicial review) terhadap Peraturan KPU (PKPU) yang di dalamnya memuat larangan mantan narapidana korupsi maju sebagai caleg.
Seperti diketahui, saat ini MA menunda sementara uji materi terhadap PKPU. Hal ini lantaran Undang-Undang Pemilu yang menjadi acuan PKPU juga tengah diuji materi di Mahkamah Konstitusi (MK).
Dorongan ke MA akan disampaikan secara formal dan diupayakan secepat mungkin. Sebab, menurut ketiganya, MA berwenang untuk memutuskan secara cepat persoalan-persoalan yang berhubungan dengan pemilu.
Kesepakatan kedua yang diambil yaitu, ketiga lembaga itu akan melakukan pendekatan pada partai politik peserta Pemilu 2019 untuk menarik bacalegnya yang berstatus mantan napi korupsi.
Sebab, sebelum masa pendaftaran caleg parpol telah menandatangani pakta integritas yang isinya sepakat untuk tidak mencalonkan mantan napi korupsi.
Di samping itu, baik DKPP, KPU, maupun Bawaslu juga sepakat untuk berupaya tidak menambah jumlah mantan napi korupsi yang lolos sebagai bacaleg.
https://megapolitan.kompas.com/read/2018/09/10/11074541/laporan-taufik-ke-dkpp-dan-kekehnya-kpu-tunda-perintah-bawaslu